Monday, May 20, 2013

Perempuan malas vs perempuan rajin

Sudah beberapa lama saya sempat off nonton tv untuk beberapa hari karena muak dengan berita-berita tentang suap impor sapi dan skandal gratifikasi dan pencucian uang yang melibatkan partai P*S serta semua berita tidak relevan lain dengan negara ini seperti Eyang Stupid dll yang hanya membuat tensi naik. Kemuakan saya memuncak ketika tv satu mewawancarai salah satu perempuan yang dengan muka sok innocent mengaku tidak mengerti kenapa orang yang baru kenal sudah mau memberikan uang jutaan bahkan ratusan juta. Didn't she think Indonesians have brain???

Namun pada suatu pagi saya memutuskan, okay, let's see what happens out there..jadinya saya setel juga tv itu. Tv 'satu' sedang menayangkan running text: jumlah perempuan yang tersangkut pencucian uang itu sudah 30 orang!

Dengan rasa kantuk yang masih menyerang karena tidur larut malam sebelumnya, saya mendengar bunyi kran air di area cuci di belakang kamar tidur saya dihidupkan. Bunyi pancaran air yang jatuh dengan kencang ke ember-ember cucian menyadarkan bahwa si mbak P*ni, tukang cuci seterika ibu kos saya, sudah siap memulai pekerjaannya di area cuci itu. Biasanya ia memulai kerjaannya dengan menyeterika, sekitar jam 7.30, kemudian melanjutkan dengan mencuci sekitar jam 8 pagi seperti ini (it explained saya bangun jam berapa :). Rumah ini adalah rumah kedua atau ketiga, dari sekitar lima atau enam rumah yang dia harus datangi setiap hari untuk menjadi tukang cuci setrika. Dengan rata-rata memberikan 250 sampai 300 ribu sebulan, kira-kira ia mendapatkan 1,5 sampai 2 juta sebulan. Mungkin sekitar-sekitar Lebaran dia dapat lebih dari sumbangan sembako, sirup, kue dan lain-lain. Kalau divaluasi, kira-kira paling banyak 3 juta lah yang dia dapat sebulan dari hasil membanting tulang-nya itu. Yes, literally membanting tulang!

Now, suddenly, a flashback from the interview with one of the women who is a model of a male magazine hit my head. This woman, unashamed, unembarrassed, bilang bahwa dia selalu diberikan uang saku sebesar 3 juta (!) setiap kali ia bertemu dengan AF. Selain itu juga AF pernah membelikan jam tangan seharga 70 juta, dan mobil Honda Jazz seharga 250-an juta itu. 

Lalu saya mendadak ingat mbak P*ni, juga mbak penjaga kios sebelah, dan mbak tukang sapu taman di kompleks ini, yang setiap hari sudah harus memulai harinya dengan bekerja keras dan membanting tulang demi sesuap nasi. Juga ibu tukang warung perantau dari Sukoharjo yang menjual bakmi Surabaya dekat kantor. Juga nenek yang menjaga toko kelontong di ujung kompleks. Pelayan di RM Aceh dekat kompleks, atau penjaga laundry yang ikut tuannya merantau dari kampungnya di Aceh. Dan perempuan-perempuan miskin pekerja keras lainnya yang selalu saya temui di pasar; yang berjualan sayur dan buah di Pasar Minggu. Yang mungkin seumur hidup mereka tidak pernah membayangkan rasanya melihat uang puluhan dan ratusan juta. Yang tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya memiliki mobil, apalagi mobil bagus.

Tiba-tiba saya marah sampai hampir menangis, entah kenapa. Kepala saya tiba-tiba menjejerkan gambar para perempuan cantik di tv (yang semuanya cantik, berkulit terang dan seksi) dan perempuan-perempuan miskin (yang semuanya kurus, tidak cantik dan berkulit agak gelap) yang yang saya temui sehari-hari, yang riil. Marah kepada hidup, kepada keadaan, kepada nasib? Those things are only circumstances, they are abstract, this anger cannot be addressed to them

Tidak. Saya lebih marah karena ada isu malas dan rajin di sini. Perempuan-perempuan cantik ini tidak mau bekerja keras, dan tidak mau hidup susah. Hanya dari satu pertemuan, mereka bisa menghasilkan uang setara yang dihasilkan perempuan miskin lain dalam sebulan. Mereka bisa berdandan, mempercantik diri, berkeliaran di mall, rumah makan, hotel bintang lima....dan tidak perlu bekerja keras. Mungkin ada kasus dimana perempuan terjebak ke dalam prostitusi: dijebak hutang, korban trafficking, dan sebagainya. Namun, dalam kasus seperti para perempuan pencuci uang ini, I don't think so

Dengan umur yang masih muda dan tubuh yang sehat seperti itu, mereka bisa bekerja lebih keras untuk hidup, walaupun tidak menjadi kaya dengan segera. Tapi bukan hanya makanan dan pakaian layak yang mereka butuhkan. Mereka ingin hidup glamour, mewah, makan enak dan pakaian mewah. Dan terlebih, mereka ingin mendapatkannya kalau bisa, dengan sesedikit mungkin energi. Hukum ekonomi berlaku: kalau bisa untung sebanyak-banyaknya dengan modal sesedikit-sedikitnya. Kapitalis. 

Dan untuk perempuan-perempuan miskin yang tidak cantik itu, tidak banyak pilihan selain bekerja keras dan memutar otak. Kalau tidak, tidak ada yang akan membayar mereka jutaan untuk sekali pertemuan. Tidak ada yang akan menawarkan mereka menjadi foto model. Tidak. Coping mechanism mereka adalah membanting tulang, cause people in general, will feel more pity and generous to beautiful people than to the ugly ones, so the ugly ones learn to survive harder ways (tiba-tiba ingat tulisan Agus Budiman ,Dunia yang Rupawan, di Kompas 2006 yang lalu (link nya sudah hilang, hanya sisa kutipannya di grup Yahoo: http://groups.yahoo.com/group/indonesia-community/message/6213). Well, saya tidak tahu apakah marah saya ini bisa merubah keadaan. Tapi memang tidak semua pemikiran harus merubah keadaan. Apalagi hanya pemikiran dan rasa marah dipagi hari dari seseorang yang tidak signifikan anyway. Saya hanya mau marah. Dan supaya tidak tinggal di otak saya, saya mau tuliskan kemarahan itu di sini. Pemikiran saya tentang ini rasa-rasanya sudah terwakili dengan tulisan Agus Budiman itu yang saya kutip di sini:

Alangkah menentukannya rupa. Dengan ijazah SMA yang baru diterimanya, anak muda yang tak melanjutkan sekolah dan tak sanggup menjadi petani itu, hijrah dari kampungnya di Jawa Tengah untuk meraih status baru sebagai karyawan swasta di Bekasi atau Jakarta. Saya sodori ia koran edisi Sabtu
dan Minggu yang bertabur iklan lowongan itu.

Selang beberapa jenak, ”Yaaa, untuk S1 semua,” keluhnya, ”Ada sih yang untuk lulusan SMA, tapi saya jelas gugur gara-gara syarat pertama.”

”Lho, memang syarat pertamanya apa?” selidik saya.

”Berpenampilan menarik,” cetusnya kesal seraya menepuk lembar koran itu lalu ngeloyor.

Mulanya saya agak dongkol pada kawan kita ini. Sudah merasa tampangnya tak menarik, kok berani-beraninya punya nilai ijazah pas-pasan. Bukankah seharusnya ia belajar habis-habisan? Biar saja orang lain memutuskan untuk tak akan mati-matian memburu ilmu-sudah cantik, kok. ”People become only as knowledgeable as they need to be, based on how ugly they are,” kata Scott Adams, pencipta komik Dilbert itu berwasangka.

Namun, syarat ”berpenampilan menarik” itu tak urung meneror saya. Kenapa majikan harus memilih yang rupawan dan menyingkirkan yang tidak, bahkan untuk pekerjaan yang hasilnya belum tentu bergantung pada penampakan si bawahan? Atau itukah kelaziman yang tak terhindarkan dalam proses seleksi, lebih-lebih di negara berpuluh juta penganggur ini?

Saya bersekolah di SMP dekat pabrik gula di Pekalongan, tahun 1989-1991. Di sana, siswa yang naik dari kelas satu ke kelas dua atau dari kelas dua ke kelas tiga akan dihimpun dalam enam kelas berdasarkan urutan prestasi akademisnya. Yang paling pintar akan dimasukkan ke kelas II-A atau III-A dan dibanggakan guru dan orangtua; yang paling tidak pintar tercampak di ruang II-F atau III-F dengan
dibayangi ancaman orangtua dan kadang rasa putus asa.

Setelah perlombaan nilai rapor, berkumpullah kebanyakan murid cantik—menurut kriteria saya pada waktu itu, sayangnya, di kelas D, E, F. Saya masuk kelas A (nah, sekarang Anda bisa menduga tampang saya). Alhasil, sejak di SMP itulah, sejenis penyakit curiga menjangkiti saya. Bila melihat yang rupawan, saya segera mencurigai kecerdasannya, tetapi (maaf) kok tidak otomatis sebaliknya. Entah kenapa, dan betapa tak adilnya saya, saya tak langsung yakin yang bertampang ”jelek” akan berotak encer.

Sebagian teman saya yang dulu duduk di kelas E dan F—karena sekolah, teman, dan orangtua berhasil meyakinkan mereka bahwa mereka memang ”bodoh”—tak melanjutkan sekolahnya sama sekali, atau meneruskan, namun tak ke lembaga pendidikan yang dianggap bermutu. Lantas, mereka bekerja di sektor jasa yang banyak melibatkan senyum dan keramahan. Sebagian menjadi kepala desa atau wiraswasta. Alumni kelas A dan B banyak yang melanjutkan ke sekolah yang terbilang bagus, sebagian dengan beasiswa, lalu lulus menjadi dokter, akuntan, dan profesi lain yang relatif tidak mengandalkan tampang, semisal pekerjaan menuliskan ihwal ini.

Tentu tak bisa dikatakan bahwa semua murid kelas A berpenampilan buruk tapi mendapatkan pekerjaan yang lebih baik ketimbang yang dulu di kelas F, atau sebaliknya. Tapi, ditilik dari segi akses kepada kesempatan kerja, si ayu dan si ganteng tampaknya berpeluang lebih untuk lulus pada saringan pertama, yaitu ”razia tampang” yang dilakukan pemberi kerja atau pemilik kapital.

Sialnya lagi, penampilan kerap juga jadi alat seleksi pamungkas. Misalkan Anda seorang bos, dan di depan Anda berdiri dua calon pegawai yang kebetulan berkemampuan sama, Anda tentu memilih yang lebih rupawan, bukan?

Nah, banyak si tampan dan si juwita (dan yang merasa demikian) menyadari ini, dan memanfaatkannya. Sebenarnya Tuhan menganugerahi mereka dengan otak dan potensi kecerdasan yang sama dengan si buruk rupa. Namun, karena tahu dengan keelokan fisiknya itu, mereka toh bisa meniti hidup. Otak mereka terselamatkan dari rumitnya matematika atau canggihnya fisika kuantum.

Di lain pihak, guru, kenalan, dan orangtua seolah tak rela bila si cantik terlalu serius mengasah otak. Si molek terantuk kesulitan sedikit saja, mereka sudah sikut-sikutan menawarkan jasa.

Masyarakat yang latah

Di tempat kerja, si buruk rupa meringkuk di unit penelitian atau produksi, dan yang berpenampilan menarik tadi berkutat di divisi penjualan, pemasaran, humas, atau menjadi sekretaris. Hidup berputar dan terjadilah transaksi: karyawan di bagian produksi menikahi seorang SPG (sales promotion girl), pramuniaga.
Motifnya macam-macam. Bisa demi ”perbaikan keturunan”, bisa pula semacam dendam: ”Awas, Manis, kukawini kau.” Tak semua harus meniru Socrates yang menampik seorang jelita bodoh yang melamarnya demi beroleh keturunan nan cantik-cendekia. Filsuf yang juga guru Plato ini konon malah cemas anak mereka akan buruk rupa sepertinya dan berotak seperti si gadis.

Kita memang punya daftar bertemunya kecerdasan dan kerupawanan dalam satu diri. Kita mencatat, pada para nabi dan banyak orang saleh, dua hal tadi bahkan masih dilengkapi dengan akhlak mulia.

Tapi mungkin daftar itu kurang panjang, sebab seperti yang diam-diam kita akui, kecantikan fisik dan kecerdasan akal agaknya lebih suka bercerai. Maka, dengan lebih giat kita berlomba mencari bahkan ”menciptakan” manusia idaman yang cantik- cerdas itu. Bocah-bocah yang sedang asyik bermain dan belajar melafalkan ”r” sudah kita jewer dan kita genjot habis-habisan otaknya dengan vitamin, metode belajar, dan sekolah yang mahalnya keterlaluan. Rupa kita permak sampai pol lewat klinik hingga rekayasa genetika, termasuk kloning manusia.

Kontes ratu dunia yang gemerlap itu konon menuntut 3B: brain, beauty, behaviour. Agak dipaksakan memang singkatan itu. Sebab, maksud mereka tentu bukan brain (’otak’) yang semua orang punya, melainkan inteligensi (’kecerdasan’). Tapi, demi akronim, apa boleh buat.

Repotnya, kriteria beauty—yang pasti kena untuk pemilihan model pakaian renang dan belum tentu cocok untuk selain itu—kini kita pakai secara meluas, bahkan merupakan faktor penentu dalam pelbagai ajang seleksi. Pemerintah menggunakan istilah beauty contest untuk menentukan perusahaan mana yang akan menjadi penasihat pelelangan surat utangnya. Kita latah, kriteria ini kita bawa-bawa bukan hanya dalam penyaringan gadis sampul atau bintang sinetron, tapi juga dalam pemilihan pembantu, tukang ojek, satpam, penceramah, bupati, wali kota, anggota parlemen, sampai presiden....

Agus Budiman Editor Majalah dan Buku

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/20/humaniora/2374889.htm