Sunday, February 5, 2017

Striking return of old memory of folk dancers' photograph

Babendi bendi …
Ka Sungai Tanang, amboi kanduang ei, ka Sungai Tanang …
Ka Sungai Tanang, amboi kanduang ei
Singgah lah mamatiak diak, singgah lah mamatiak kuntum lambayuang
Singgah lah mamatiak diak, singgah lah mamatiak kuntum lambayuang
Hati siapo …
Indak kan sanang, amboi kanduang ei, indak kan sanang …
Indak kan sanang, amboi kanduang ei
Maliek si upiak, maliek si upiak manari payuang
Ditimpo paneh baranti dulu diak, baok balinduang
-----
Kejadian yang sangat aneh terjadi beberapa hari yang lalu. Saya bermimpi tentang suatu pigura dengan gambar perempuan penari lengkap dengan kostum penari oranye kekuningan dan rumbai-rumbai di tutup kepalanya, dan payung berlipit-lipit berwarna putih, kuning, oranye dan merah. Gambar berpigura ini pernah dimiliki oleh orangtua saya, kurang lebih 36 tahun yang lalu (!) di rumah kami di Kampung Ba**. 
Saya ingat bahwa kaca pelapis gambar ini pecah pada suatu hari. Dan pecahan kaca itu kami ibaratkan sebagai es batu. Jaman itu, tidak banyak yang punya kulkas, dan es batu dalam potongan kecil-kecil adalah hal yang langka bagi kami. Karena itu, kami mengibaratkan (membayangkan) kaca-kaca tersebut sebagai es batu, sesuatu yang segar, yang langka, yang sifatnya "we wish". Umur saya sendiri sekitar 5 atau 6 tahun pada waktu itu.
Dalam mimpi saya itu, seluruh kejadian ini lengkap, bersama dengan musik pengiring, lagu Babendi-bendi ini (atau Berbendi-bendi, versi Bahasa Indonesia-nya). Musik ini masih terngiang di telinga saya saat saya terjaga.

Mimpi yang benar-benar aneh. Jangan-jangan ini yang dinamakan time lapse? De ja vu? Multiverse reality? Parallel reality? Atau ini hanya semata-mata gesekan neuron-neuron di otak saya yang tidak sinkron pada saat saya berada dalam fase mimpi?

*oldPost-2016

No comments: