Monday, September 17, 2018

Bredel buku di rumah guru: "jangan berkhayal" (not)

Saat itu saya mungkin sudah di Kelas 2 atau 3. Ile dan Na kelas 4 dan 6, atau 3 dan 5. Berjarak 2 tahun masing-masing. Masa itu, buku bacaan anak-anak yang populer adalah buku-buku serial karangan Enid Blyton, sebangsa Lima Sekawan, Sapta Siaga, Komplotan, Petualangan, Si Badung, St.Claire, Malorry Towers dan beberapa buku lepasan lainnya. Serial-serial tersebut selalu bercerita tentang dua golongan anak-anak. Pertama, mereka yang suka berpetualang, memecahkan misteri dan menantang bahaya seperti Lima Sekawan dan lain-lain, dan kedua, mereka yang nakal, lain daripada yang lain (tomboy), suka melawan, tetapi umumnya, berjuang untuk hal yang benar, dibalik kenakalan dan kebadungan mereka.

Buku-buku ini, bisa saya bilang, adalah buku-buku yang membentuk masa kecil dan karakter kami (saya). Saat membaca buku-buku ini, pikiran dan imajinasi saya bisa terbang ke negeri-negeri lain, bertualang tanpa batas wilayah. Saya bisa keluar dari rumah, dari kompleks, dari kota ini. Saya bisa berada di pedalaman Inggris, punya kapal, berenang, naik perahu, naik gunung: tanpa bisa melakukan semuanya itu dalam hidup yang nyata. Karena hidup yang nyata, benar-benar biasa-biasa saja. Bukannya tidak menarik, tapi kenyataan hidup biasa bagi keluarga kelas menengah di kota kecil pada tahun 1980-an di Indonesia. 

Namun demikian, ada juga sedikit 'hint' kemiripan yang membuat ketertarikan terhadap buku-buku tersebut cukup kuat. Kami besar di lingkungan yang masih asli. Alam sabana yang kering dan masih liar, lengkap dengan batu-batu karang hidup dan gua-gua karang. Rumput ilalang yang tumbuh bagaikan monster tanpa ampun dimana-mana, akarnya saling mengikat dan kait mengait mengurung tanah tandus yang hanya punya sedikit nutrisi untuk dimakan. Tapi bunga-bunga liar berbau tajam, semak-semak bergetah dan berbau atsiri masih juga dapat bertahan hidup dalam kekeringan dan kungkungan alang-alang yang kejam itu. Semacam bunga terompet kurus putih dan ungu dengan petal bergaris kuning, lantana oranye dengan buah hitam bak buah anggur mini, semak buah tinta yang dalam impian bodoh kami, mungkin adalah blueberries kampung (yang belum ditemukan orang-orang), buah putri hijau mentah dan kuning matang, dan semacam timun  mas merambat kecil-kecil yang namanya..bonteng? Kumis kucing, buah bergetah susu yang beracun, dan miana liar berbau tajam. Ada beberapa bunga liar yang tak kami kenali, dan kami namai sendiri. 

Lingkungan seperti ini sanggup membawa imajinasi saya ke wilayah yang berbeda sama sekali di Inggris sana. Dan walaupun saya tahu ada tempat bernama Inggris beserta seluruh stasiun dan kota-kotanya, bahkan desa-desa dan sekolah-sekolahnya, saya belum ada bayangan sama sekali, apakah mereka real atau tidak. Sampai saya melihat globe. Bola dunia dari balon karet berwarna biru yang pernah Mama bawa ke rumah pada suatu hari, membuat saya terpana, terkagum-kagum, dan bermimpi-mimpi. Tentang berbagai negara di luar sana, tentang bagaimana orang-orang di luar sana. Tentang bagaimana kehidupan di luar sana.  Bahwa mereka punya malam dan siang yang berbeda dengan yang kami alami. Bahwa mereka punya sekolah-sekolah seperti St. Claire dan Malorry Towers. Bahwa ada pulau-pulau kecil yang misterius dan terdapat banyak burung kakatua dan burung-burung liar di hutan-hutannya. Saya bisa tertidur hanya dengan berimajinasi tentang itu.

Buku-buku tersebut termasuk mahal untuk keluarga kami pada masa itu. Papi dan Mama tahu bahwa kami suka sekali buku-buku itu, tapi dengan 5 anak sekolah, akan sulit jika semua hobi kami pun dibiayai. Dan karena di sekolah biasanya dilakukan sistem barter, kami tahu bahwa paling tidak punya 1 atau 2 buku, bisa dijadikan modal awal untuk bertukar buku lain. Dan kami bertiga, artinya, kombinasinya bisa jadi makin banyak (1x3xn). Akhirnya, pada suatu hari, Papi ke Jakarta. Papi membelikan kami satu buku Lima Sekawan: Di Bukit Billycock. Itulah, bisa dibilang, satu-satunya buku Lima Sekawan yang kami miliki untuk bahan barter. Lumayan. Dikemudian hari, kami kemudian mempunyai satu buku Komplotan, kalau tidak salah.

Tapi ada satu masa dimana Mama pernah melarang kami membaca buku. Biasanya kami membaca sambil tidur, dan Mama tidak suka karena akan merusak mata, jadi dia melarang kami. Hampir semua orang akan bilang begitu. Tetapi terbukti tidak, kami semua tidak ada yang memakai kacamata minus. Mata kami semuanya baik sampai sekarang, saat kami masuk usia 40-an barulah kami memakai kacamata baca alias plus. Mama akan mematikan lampu total, supaya kami berhenti membaca. Tapi kami kadang-kadang melawan. Bagaimana mungkin, saat George, Dick, Julian dan Anne serta Timmy sedang tegang-tegangnya mengejar penjahat misterius, kami harus berhenti membaca? Bagaimana mungkin, saat Elizabeth si Badung sedang merencanakan kenakalan, kami berhenti membaca. Tanggung! Akhirnya, suatu kali Mama bilang, bahwa alasan ia melarang kami terlalu banyak membaca buku-buku itu ialah, bukan saja supaya mata kami tak rusak, tetapi supaya kami tidak banyak mengkhayalkan hal-hal yang tidak mungkin Mama dan Papi bisa berikan kepada kami. Hal-hal yang sering kami baca dalam buku-buku itu, misalnya: liburan panjang di tempat lain, sekolah swasta mahal, dan lain sebagainya (saya lupa sisanya). Mama bilang, kami harus sadar bahwa orangtua kami hanya mampu segini, dan dengan membaca buku-buku itu, kami akan memiliki keinginan yang terlalu tinggi, dan mungkin akan kecewa jika tidak dapat terpenuhi di dunia nyata. Kami meyakinkan Mama bahwa kami dapat mengendalikan keinginan seperti itu, karena toh, Inggris sangat jauh!!

Mama tidak salah, tapi khayalan kami dari buku-buku ini lah, toh, yang akhirnya mendorong saya untuk pergi ke luar negeri. Menjelajah negara-negara yang hanya saya lihat di globe dulu, yang hanya saya baca di buku dulu, yang hanya saya khayalkan dulu. Mimpi, dimulai dari buku. Selebihnya adalah nasib dan kerja. 

Salah satu cover Lima Sekawan tahun 50-an, dari Pameran Buku Tua di Unimelb, Juli 2017
Waktu saya ke Inggris akhirnya, pada tahun 2006, semuanya serasa mimpi. Ajaib. Menginjakkan kaki di kota London. Melihat Big Ben dari bawah, melihat sungai Thames dari atas. Berjalan-jalan di peron dan staisun-stasiun dengan nama-nama Paddington, Waterloo, dan lain-lain, bagaikan keajaiban bagi saya. Bahkan, ulangtahun saya rayakan di Oxford saat itu. Dengan kastil dan menara-menaranya. Semuanya terasa tidak riil. Bagi saya, Enid Blyton lah, yang akhirnya membuat saya menggapai dan pertama dan yang terpenting: ingin, ke luar negeri. Jika tidak ada buku, bahkan untuk bermimpi pun, saya tak punya referensi.  

Saturday, September 15, 2018

Anjing-anjing kami yang legendaris: Brino dan Snowy

Semakin banyak saya membaca tentang anjing di internet, plus menonton video-video lucu tentang anjing di  Youtube, semakin saya berpikir bahwa yang namanya 'anjing kampung', istilah yang banyak kita gunakan di Kupang, kebanyakan adalah mix-breed antara anjing lokal Nusantara seperti ajak dan labrador. Mungkin ada juga campuran lain seperti golden-retriever, tapi pada umumnya ciri-ciri labrador lah yang selalu cenderung kami cari jika memilih anak anjing: moncong pendek, bulu agak tebal, telinga yang tidur (tidak berdiri). Anjing-anjing yang bertelinga berdiri dan moncongnya panjang, biasanya memang tidak dianggap 'cantik', dan lebih banyak ciri-ciri ini ada pada anjing kampung yang berkeliaran di jalan, sehingga tidak terlalu disukai.

Waktu saya masih baru saja sadar dari ketidaksadaran masa balita saya, saya samar-samar mengingat tentang anjing kami di rumah Kampung Baru, namanya Brino atau Bryno, saya kurang tahu bagaimana mengejanya, tetapi warnanya off-white, kalau tidak putih kecoklatan. Ini adalah anjing di rumah kami pada tahun 1980-an, atau mungkin dari akhir 1970-an, waktu saya belum terlalu sadar. Brino anjing bagus, dan gemuk, karena kami cukup tertib dalam memberikan makanan dan memandikannya. Papi dan mama, yang saya ingat, tidak pernah menelantarkan anjing, mereka penyuka anjing, dan tidak pernah kasar pada anjing. Apalagi anjing sendiri, yang dipilih sendiri untuk dipelihara di rumah. Brino legendaris, karena kalau tidak salah, pernah melewati masa-masa dimana ada maling yang memasuki rumah dan dia seperti tidak menggonggong, sehingga Papi dan lain-lain menduga, orang yang mencuri itu tentunya adalah orang yang pernah mendatangi rumah kami, dan dikenal Brino. Saya lupa tepatnya apakah akhirnya si maling tertangkap atau tidak, tapi ada bukti seperti jejak lumpur dari sepatu dan apa lagi, mungkin payung - salah satu kasus yang kemudian membuat saya tertarik menjadi detektif dan menyukai hal-hal misterius terkait penyelidikan dan sebagainya.

Pada suatu hari, Brino hilang. Sudah beberapa kali kami mendengar ada komentar-komentar tidak menyenangkan dari orang-orang yang datang ke rumah, yang bilang, 'Wah, anjing ini kalau dijadikan RW tentu enak, karena gemuk'. Masa itu, rumah kami adalah rumah yang selalu ramai. Papi punya meja pingpong di teras rumah yang menghadap jalan raya. Papi juga penginjil, majelis jemaat, pedagang, pengurus partai politik dan dosen yang mengajar banyak mahasiswa, belum terhitung keluarganya sendiri, sehingga tidak kurang-kurangnya tamu yang datang entah untuk mengobrol sampai malam atau yang hanya iseng lewat depan rumah dan berhenti singgah untuk bermain pingpong. Bat dan bola pingpong selalu tersedia, dan sepanjang ada lawan, mereka bisa bermain saja walaupun Papi tidak ada di rumah. Belum lagi kawan-kawan Bu yang sudah SD saat itu, anak kampung sekitar atau kawan sekolah.

Awalnya kami pikir celetukan tentang daging anjing itu hanya becandaan. Jaman itu, anak-anak sering ditakut-takuti dengan cerita tentang orang potong kepala: orang-orang jahat yang berkeliaran membawa karung dan menculik anak-anak kecil untuk dijadikan korban tumbal pembangunan jembatan atau bangunan. Pencuri dan pemakan anjingpun saya pikir mirip, dan banyak cerita bahwa para pencuri anjing (dan penjahat lainnya) ini sering datang dari arah 'belakang kali'. Ya, beberapa meter di belakang rumah kami memang ada kali kecil yang lebih sering kering nya daripada ada airnya, dan seperti ada hutan kecil di dekatnya. Tapi cerita-cerita itu membuat tempat itu nampak mengerikan. 

Namun, ternyata celetukan-celetukan itu benar. Pada suatu hari Brino hilang. Dan saat itulah pertama kali saya merasakan kehilangan yang cukup dalam terhadap binatang kesayangan. Terkutuklah siapapun yang memakannya, pikir kami semua dengan geram. Inilah pertama kalinya, mungkin, saya memiliki ide tentang adanya orang-orang yang tega melakukan kejahatan karena menginginkan milik orang lain, dan karena mungkin, mau makan enak tanpa bekerja. Saya, dan kami, tak habis pikir mengapa ada yang tega melakukan ini pada anjing kami, mereka tidak ikut memberi makan, memandikan, atau memberi minum. Mereka tidak ikut merawat, dan tidak terlibat secara emosional dengan anjing ini. Sedangkan anjing di rumah kami, saat mereka masih kecil, diberi susu dan selimut, dan saat besar, dimandikan dan dirawat. Saya pikir, para pencuri anjing dan orang yang memakan hasil curian adalah orang-orang biadab yang sangat jahat.

Sekitar satu dasawarsa kemudian, datanglah Snowy dalam kehidupan kami. Dari semua anjing yang kami pernah punya, Snowy adalah anjing di rumah kami yang paling legendaris. Mungkin tahun 1988 atau 1989. Kami ingat benar, saat itu Mama masih menjadi Kepala Sekolah di SD Inpres Perumnas 1, kalau tidak salah. Si penjaga sekolah saat itu, saya lupa siapa namanya, Nadus atau Kobus atau nama-nama semacam itu, kabarnya baru saja datang dari kampungnya, dan membawa seekor anak anjing putih dan bulat. Saat Mama berjalan melewati rumahnya, dan melihat anak anjing lucu itu, dan Mama suka. Anak anjing itupun suka mendekat ke Mama dan menggosok-gosokkan badan bulat kecilnya ke kaki Mama. Mama kemudian meminta Snowy pada si bapak penjaga sekolah. Sebenarnya dia tidak mau memberikannya kepada Mama, karena memang anak anjing itu lucu sekali. Moncongnya pendek, matanya sayu, telinganya lebar dan menggantung (tidak berdiri), dan bulunya tebal. Kalau dia meringkuk, nampak seperti benang wol, atau ulat bulu putih besar. Mama suka sekali. Bapak penjaga tentunya membawa dari kampung dan berharap akan memeliharanya. Tapi Mama mendesak, dan yang kami katakan dengan berkelakar saat itu ialah, bahwa Mama menggunakan kekuasaan untuk mendapatkan Snowy...hehehe. Kalau saya tidak salah ingat, hari itu bertepatan dengan ulang tahun Mama, tanggal 23 April, sehingga mudah mengingat kapan Snowy datang ke rumah kami. 

Kami anak-anak memang selalu diberikan tugas di rumah. Ada yang menyapu, mengepel, menyiram halaman, menyapu halaman, mencuci dan mengelap mobil, dan juga memandikan anjing dan memberinya makan. Anjing punya piringnya sendiri, biasanya piring kaleng, dan ditaruh di luar rumah. Tentu saja, tidak perlu ada tugas khusus membawa anjing jalan-jalan seperti di luar negeri, karena di Indonesia anjing boleh berkeliaran sebebasnya, dan biasanya selalu ada pada jam makan kami di rumah, serta pada malam hari untuk menjaga rumah. Selain terkenal cerdas, anjing adalah binatang dengan kepekaan teritorial yang tinggi, sehingga ke manapun ia bermain dan berkelana seharian, pasti akan pulang ke rumah tuannya pada malam harinya. Itulah sebabnya anjing adalah binatang setia dan paling dapat diandalkan untuk menjaga rumah sejak jaman dahulu. Berbeda dengan kucing yang menurut saya adalah binatang yang lebih culas dan bodoh, bahkan selalu tetap mencuri makanan di rumah tuannya walaupun sudah lama tinggal di rumah.

Awalnya memang Snowy sudah punya bakat menjadi legend. Ia dinamai Snowy, seperti nama anjing Tintin si jurnalis yang juga petualang, karena dia memang putih bulunya, dari ujung telinga ke ujung kaki dan ekor, seperti salju. Ekornya gendut sekali, mungkin keliling pangkal ekornya sebesar kaki seekor kucing waktu ia sudah dewasa. Telinganya juga lebar, dan kami menjulukinya si telinga layar. Dan menggantung, dan suka sekali kami main-mainkan, yang tentunya membuat dia kesal. Waktu masih kecil, Snowy pernah tidur-tiduran dengan badan dilingkarkan di tangga pintu masuk di rumah bagian belakang kami. Datanglah om Sam, atau siapa, mau masuk ke dalam rumah. Ia tidak sadar melangkahi Snowy yang sedang tiduran. Sampai di dalam barulah dia berseru, "Wah, itu tadi apa yang berbaring di depan pintu? Anak babi kah?". Cerita ini cukup terkenal diantara kami serumah akhirnya. Semua orang kompleks pun tahu bahwa anjing putih milik Pak Fanggidae sangat gendut seperti babi. Padahal, menurut kami, dia lebih seperti ulat bulu (waktu masih kecil), tapi tidak dapat disangkal, kalau dia melingkarkan badannya waktu tidur, hampir seperti babi Belanda (babi besar gemuk berbulu putih) penampakannya. Kami juga menjulukinya 'Polar Bear', karena kalau ia berdiri, dengan bulu putihnya yang tebal, ia hampir mirip beruang kutub: putih dan tebal.

Snowy sangat lucu dan menghibur. Banyak sekali hal lucu yang sepertinya hanya Snowy yang lakukan, yang belum pernah kami amati dan lihat pada anjing lain. Yah, walaupun mungkin ada anjing lain berlaku demikian, mungkin kami saja yang tidak tahu karena kami tidak kenal juga dengan anjing lain seperti kami mengenal Snowy. Yang pasti, walaupun ditakuti karena badannya yang bongsor, Snowy anjing yang sangat sopan dan memang sepertinya lebih cerdas dari rata-rata anjing lain yang kami pernah punya, apalagi jika dibandingkan anjing tetangga di belakang rumah kami yang menurut kami sangat 'biadab' dan bodoh, karena menggigit sembarangan dan rakus. Sangat kontras. Snowy selalu bisa mengambil makanan dari tangan kami, bahkan tanpa menyentuh tangan kami. Anjing tetangga kami, yang namanya pun anjing itu, warnanya coklat dan matanya liar. Mungkin tak pernah dikasih makan dengan benar, badannya kurus, dan modelnya galak. Melihatnya saja kami sudah kesal. Jangan-jangan anjing itu turunan serigala kampung atau rottweiler, atau tak terlacak, dan hanya turun genetik jeleknya saja. 

Salah satu hal yang paling suka menjadi bahan gunjingan kami di rumah ialah kalau anak-anak tetangga itu pulang ke rumah, lalu mulai memanggil anjingnya dengan berseru setengah melagukan kata "A...aa...aa...an...jii..i...i..ing....". Menurut kami, salah satu hal yang paling tolol yang bisa dilakukan orang, adalah menamai anjing dengan nama anjing, memangnya belum jelas bahwa anjing itu anjing? Kami akhirnya sulit memutuskan, mana yang lebih bodoh, si pemilik atau si anjing. Sejujurnya, kami menganggap dua-duanya bodoh, berdasarkan pengalaman. Anjing bernama anjing itu, pada suatu hari di puncak kehinaan dan kebodohan, dan mungkin kelaparannya, masuk ke rumah kami, menerjang siapapun yang ada di jalannya, dan nyelonong ke dapur kami mencari makanan.  Kalau tidak salah, ia sempat menggigit betis saya, atau betis Na. Itulah definisi tidak tahu malu yang sebenarnya: mencuri di rumah kami dan menggigit kami pula! Pokoknya, menurut kami anjing itu dan para tuannya adalah bencana dan monster yang sangat menyebalkan. 

Beda seratus delapan puluh derajat dengan Snowy. Dia tidak pernah menyerang maupun menggigit (atau mungkin pernah, tapi tanpa sepengetahuan kami). Dia hanya menggonggong memperingati orang yang tak dikenal jika lewat dari depan rumah, atau dari samping rumah, walaupun sering juga dia mengejar motor yang lewat. Rata-rata motor yang lewat sudah kenal, bahwa ada anjing putih gendut depan rumah kami, dan suka mengejar motor. 

Ada hal yang luar biasa dari Snowy, yaitu memorinya. Pada saat Snowy masih kecil, ada sepupu kami yang tinggal bersama kami. Namanya Edi. Edi lah yang mempunyai tugas memandikan Snowy dan memberinya makan. Edi selalu bisa membujuk Snowy untuk mandi dengan caranya. Edi tinggal di rumah kami selama SMP, kalau tidak salah. Kemudian dia kembali ke rumah orangtuanya. Saat itu kami masih di rumah depan, berarti sekitar tahun 1988. Setelah Edi pergi, kamilah yang bertugas memberi makan dan memandikan Snowy. tetapi, seiring dengan makin besarnya badan Snowy, makin susah pula ia disuruh mandi. Akhirnya dia mulai berkutu, karena pergaulannya tentu saja dengan gerombolan anjing lainnya di kompleks. Kalau berkutu, kasihan juga membayangkan bahwa darahnya dihisap kutu-kutu itu. Akhirnya, kalau tidak bisa dimandikan, Papi dan Mama menyuruh membeli bedak Doris saja. Sampai sekarang masih ada dijual, bedak Doris yang diwadahi botol plastik bergambar anjing berbulu coklat seperti herder. Bulu Snowy hanya dimandikan dengan bedak Doris lalu disisir agar kutu-kutunya jatuh.  

Singkat cerita, saat kami sudah pindah ke rumah depan, beberapa tahun sejak Edi tidak lagi tinggal di rumah kami, pada suatu hari, Edi datang berkunjung. Snowy menjadi seperti kalap dan brutal. Dia menerjang, berguling, menggeserkan badannya ke Edi, menjilat dan melompat menandak-nandak kegirangan. Seperti bertemu teman lama yang sudah tak pernah bersua bertahun-tahun. Saat Edi masuk ke kamar dan menutup pintu, karena kewalahan dengan Snowy yang kalap, Snowy tak habis akal, dia berlari memutar dari luar rumah, lantas muncul dari jendela kamar dan melompat-lompat karena mencium bau Edi di dalam kamar itu. Snowy memutar otak nampaknya, kata kami, memang anjing pintar dia. Anjing memang binatang yang baik dan memorinya bagus. Tak lekang dimakan waktu. kesetiaannya juga, kepada orang yang dia tahu baik kepadanya.

Ada hal-hal lain yang suka kami kenang dari Snowy. Itu adalah keunikan, dan mungkin bisa disebut, keanehannya. Ada 2 hal yang dia benci dan dia gonggong seperti melihat setan saja layaknya. Yang satu adalah tangan kanan Om Lens, dan satunya lagi adalah mesin ketik. Ya, mesin ketik, bukan komputer. Ingat, ini adalah akhir 80-an dan awal 90-an, tentu saja mesin ketik adalah hal wajib yang dimiliki oleh guru dan dosen, dan juga anak sekolah SMP atau SMA. Pada suatu hari, Om Lens datang. Snowy menggeram, menggonggong, melipat badannya, melihat dengan marah, berlari mengitari om Lens. Secara spesifik, dia seperti mau menonjok atau menggigit tangan kanan om Lens, itu yang kami perhatikan. Dan itu selau terjadi. Setiap kali om Lens ke rumah, selalu terjadi kerusuhan karena kasus misteri Snowy dan kejengkelannya terhadap tangan kanan om Lens. Karena misteri ini tidak terpecahkan, kami menciptakan semacam teori atau hipotesis, bahwa om Lens adalah pemakan dan bahkan jagal anjing, itulah mengapa Snowy benci, karena kaumnya dibantai, dan bau pembunuhan ada di tangan kanan Om Lens. Om Lens, yang kami tahu, makan daging anjing. Dan kalau tidak salah, Papi atau siapa menduga bahwa itu pasti gara-gara tangan itu adalah tangan penyembelih anjing sehingga anjing dapat membaui. Tentu saja, teori ini tetap menjadi teori, karena tidak ada cara bagi Snowy untuk menjelaskan ke kami mengapa ia benci tangan kanan Om Lens. Ini sama halnya dengan kalau dia melihat mesin ketik. Dia akan melolong, menyergap, menggeram dan menggonggong kesal, seperti terganggu. Dengan mesin ketik, Papi dan Mama, bahkan kami, dalam imajinasi dan kesoktahuan kamipun, gagal membangun teori maupun hipotesis apapun, selain bahwa Snowy memang anjing yang nyentrik dan punya logika aneh sendiri yang tidak dapat kami pahami.

Satu hal unik yang sepertinya baru kami tahu dari Snowy ialah, bahwa dia kalau punggungnya digosok-gosok dengan sisi samping jari-jari kami, ke dua arah, saat dia berdiri, maka lama kelamaan badannya mulai melengkung turun, keempat kakinya akan mulai bergeser melebar ke arah samping, dan turun dan turun dan turun, dan pada akhirnya, badannya seperti telentang dengan perut menempel di lantai, dan keempat kakinya terbentang ke empat arah yang berbeda seperti merosot, merosot, merosot, dan akhirnya menempel ke lantai juga. Dia seperti dihipnotis dan langsung mengantuk dan tak berdaya. Ini adalah salah satu momen favorit yang tak pernah gagal membuat kami tertawa. Makhluk sebongsor dan segendut itu, bisa lemas tak berdaya kalau punggungnya digosok-gosok. Macam Samson di cerita Samson dan Delilah. Kelemahannya sudah jelas: Samson di rambut kepalanya, Snowy di punggungnya. Samson lemah kalau rambutnya dicukur, Snowy kalau punggungnya digosok.

Pencuri dan pemakan anjing di lingkungan kami tentunya tahu Snowy, dia terkenal karena besar badannya. Kami tahu ada beberapa kali percobaan pembunuhan dengan cara menjerat Snowy dengan kawat besi halus oleh para pencuri yang lewat dengan mengendarai motor. Beberapa kali kami melihat, kaki Snowy ada guratan bekas darah karena luka akibat kawat jerat anjing itu. Saya masih jengkel, kenapa mereka, pertama, makan anjing. Anjing binatang rumah dan seperti sahabat, jadi kalau makan anjing, seperti memakan teman rasanya. Papi pernah bercerita, bahwa orang Rote seharusnya tidak makan anjing, karena ada legenda tentang manusia Rote pertama yang berkelana dengan anjingnya yang penolong. Itulah sebabnya, keluarga kamipun  tidak memakan anjing, tidak seperti orang-orang dari suku dan pulau lainnya. Apalagi, anjing ini ada orang yang pelihara, bukan seperti ikan di laut yang dipelihara alam dan tinggal dijaring atau dipancing. Biadab dan bodoh. Kalau mau makan anjing, kenapa tidak pelihara saja sendiri mereka seperti peternakan babi? Untungnya, Snowy tidak pernah berhasil mereka culik dan bunuh. Anjing ini cukup cerdas dan besar untuk lolos setiap kali pencobaan. Membayangkan Snowy memberontak dari para pencuri jahat itu, yang berencana memukulnya sampai mati dalam karung dan memakannya, membuat perut saya mual.

Sayangnya, dari tahun ke tahun, Snowy makin tidak suka mandi. Dan juga makin sulit dibedaki. Bulu putihnya mulai rontok di sana sini. Tapi dia masih gagah dan masih besar badannya. Hanya saja, geraknya makin melambat. Kami berharap dia tetap tidak mudah ditangkap oleh para pencuri. Kalau tidak salah ingat, ada beberapa kenalan yang meminta Snowy untuk dibunuh dan dimakan, secara baik-baik, melalui Mama atau Papi. Dalam bahasa Inggrisnya: "to put him down". Tetapi tentu saja, kami menolak keras. Membayangkan Snwoy dibunuh cukup bikin mual. Namun tidak dapat dipungkiri, waktu terus berjalan, dan seperti halnya manusia, Snowy pun menua, tahun demi tahun. 

Pada suatu hari, kami sedang menonton TV di ruang tengah. Na baru pulang les. Saat itu sekitar jam setengah tujuh atau jam tujuh mungkin. Hari sudah gelap. Na bilang, dia berjalan lewat rumah depan, dan melewati Snowy yang tidur 'seperti anjing mati', dan dia sampai masih bilang, 'hey Snowy, kamu kok tiduran di jalan', sambil berjalan pulang, menyeberang jalan. Kemudian jam makan pun tiba. Saat kami mau makan (atau bahkan sampai selesai makan?), Snowy tak muncul-muncul. Ini tidak normal. Biasanya anjing itu selalu muncul kalau mendengar suara piring beradu. Dia selalu tahu saatnya kami makan, karena selalu berharap ada tulang yang bisa dia gerigiti, selain makanan jatahnya. Tapi Snowy tak muncul-muncul. Lalu Mama menyuruh kami (atau Na atau siapa, saya lupa tepatnya), untuk melihat Snowy, jangan-jangan dia sakit atau masih tidur di situ. Ternyata, Snowy sudah mati dalam tidurnya. Na membawa kabar buruk itu: Snowy mati. Kami semua tidak tahu harus bagaimana. Kamipun terus menonton TV agar tidak sedih sekali atau bahkan menangis. Kami tidak biasa menangis di depan satu sama lain. Tapi kami saling tahu, bahwa kami sebenarnya mau menangis karena kematian Snowy. 

Snowy sudah menjadi bagian dari keluarga kami selama bertahun-tahun. Mungkin sudah lima tahun atau lebih Snowy bersama kami. Banyak cerita dengan Snowy yang tidak terlupakan. Saya lupa siapa yang ditugaskan menguburkan Snowy, apakah Nani ataukah Okto atau anak laki-laki siapa yang tinggal dengan kami waktu itu. Tapi Snowy dikuburkan, kalau tidak salah, di dekat pohon kelapa kecil di halaman rumah muka malam itu juga. Malam itu kami tidak mau membahas kematiannya karena sedih. Kami hanya membahas bahwa sebagai anjing yang baik, matinya pun akhirnya dengan cara yang baik, dan terlepas dari berbagai upaya pencurian dan pembunuhan terhadapnya, dia berhasil bertahan hidup sampai hari tuanya, dan mati karena usia tua.

Sesudah Snowy, hampir tidak ada lagi anjing yang kami pelihara se-lama itu, yang secerdas, selucu, segendut dan se-legendaris Snowy. Snowy, yang kami anggap ulangtahunnya sama dengan Mama, yang selama hidupnya sangat banyak memberi hiburan pada kami, dan matinya pun tidak merepotkan kami, akan kami kenang sebagai anjing kami yang paling lama dan paling melegenda. 

=====