Monday, September 17, 2018

Bredel buku di rumah guru: "jangan berkhayal" (not)

Saat itu saya mungkin sudah di Kelas 2 atau 3. Ile dan Na kelas 4 dan 6, atau 3 dan 5. Berjarak 2 tahun masing-masing. Masa itu, buku bacaan anak-anak yang populer adalah buku-buku serial karangan Enid Blyton, sebangsa Lima Sekawan, Sapta Siaga, Komplotan, Petualangan, Si Badung, St.Claire, Malorry Towers dan beberapa buku lepasan lainnya. Serial-serial tersebut selalu bercerita tentang dua golongan anak-anak. Pertama, mereka yang suka berpetualang, memecahkan misteri dan menantang bahaya seperti Lima Sekawan dan lain-lain, dan kedua, mereka yang nakal, lain daripada yang lain (tomboy), suka melawan, tetapi umumnya, berjuang untuk hal yang benar, dibalik kenakalan dan kebadungan mereka.

Buku-buku ini, bisa saya bilang, adalah buku-buku yang membentuk masa kecil dan karakter kami (saya). Saat membaca buku-buku ini, pikiran dan imajinasi saya bisa terbang ke negeri-negeri lain, bertualang tanpa batas wilayah. Saya bisa keluar dari rumah, dari kompleks, dari kota ini. Saya bisa berada di pedalaman Inggris, punya kapal, berenang, naik perahu, naik gunung: tanpa bisa melakukan semuanya itu dalam hidup yang nyata. Karena hidup yang nyata, benar-benar biasa-biasa saja. Bukannya tidak menarik, tapi kenyataan hidup biasa bagi keluarga kelas menengah di kota kecil pada tahun 1980-an di Indonesia. 

Namun demikian, ada juga sedikit 'hint' kemiripan yang membuat ketertarikan terhadap buku-buku tersebut cukup kuat. Kami besar di lingkungan yang masih asli. Alam sabana yang kering dan masih liar, lengkap dengan batu-batu karang hidup dan gua-gua karang. Rumput ilalang yang tumbuh bagaikan monster tanpa ampun dimana-mana, akarnya saling mengikat dan kait mengait mengurung tanah tandus yang hanya punya sedikit nutrisi untuk dimakan. Tapi bunga-bunga liar berbau tajam, semak-semak bergetah dan berbau atsiri masih juga dapat bertahan hidup dalam kekeringan dan kungkungan alang-alang yang kejam itu. Semacam bunga terompet kurus putih dan ungu dengan petal bergaris kuning, lantana oranye dengan buah hitam bak buah anggur mini, semak buah tinta yang dalam impian bodoh kami, mungkin adalah blueberries kampung (yang belum ditemukan orang-orang), buah putri hijau mentah dan kuning matang, dan semacam timun  mas merambat kecil-kecil yang namanya..bonteng? Kumis kucing, buah bergetah susu yang beracun, dan miana liar berbau tajam. Ada beberapa bunga liar yang tak kami kenali, dan kami namai sendiri. 

Lingkungan seperti ini sanggup membawa imajinasi saya ke wilayah yang berbeda sama sekali di Inggris sana. Dan walaupun saya tahu ada tempat bernama Inggris beserta seluruh stasiun dan kota-kotanya, bahkan desa-desa dan sekolah-sekolahnya, saya belum ada bayangan sama sekali, apakah mereka real atau tidak. Sampai saya melihat globe. Bola dunia dari balon karet berwarna biru yang pernah Mama bawa ke rumah pada suatu hari, membuat saya terpana, terkagum-kagum, dan bermimpi-mimpi. Tentang berbagai negara di luar sana, tentang bagaimana orang-orang di luar sana. Tentang bagaimana kehidupan di luar sana.  Bahwa mereka punya malam dan siang yang berbeda dengan yang kami alami. Bahwa mereka punya sekolah-sekolah seperti St. Claire dan Malorry Towers. Bahwa ada pulau-pulau kecil yang misterius dan terdapat banyak burung kakatua dan burung-burung liar di hutan-hutannya. Saya bisa tertidur hanya dengan berimajinasi tentang itu.

Buku-buku tersebut termasuk mahal untuk keluarga kami pada masa itu. Papi dan Mama tahu bahwa kami suka sekali buku-buku itu, tapi dengan 5 anak sekolah, akan sulit jika semua hobi kami pun dibiayai. Dan karena di sekolah biasanya dilakukan sistem barter, kami tahu bahwa paling tidak punya 1 atau 2 buku, bisa dijadikan modal awal untuk bertukar buku lain. Dan kami bertiga, artinya, kombinasinya bisa jadi makin banyak (1x3xn). Akhirnya, pada suatu hari, Papi ke Jakarta. Papi membelikan kami satu buku Lima Sekawan: Di Bukit Billycock. Itulah, bisa dibilang, satu-satunya buku Lima Sekawan yang kami miliki untuk bahan barter. Lumayan. Dikemudian hari, kami kemudian mempunyai satu buku Komplotan, kalau tidak salah.

Tapi ada satu masa dimana Mama pernah melarang kami membaca buku. Biasanya kami membaca sambil tidur, dan Mama tidak suka karena akan merusak mata, jadi dia melarang kami. Hampir semua orang akan bilang begitu. Tetapi terbukti tidak, kami semua tidak ada yang memakai kacamata minus. Mata kami semuanya baik sampai sekarang, saat kami masuk usia 40-an barulah kami memakai kacamata baca alias plus. Mama akan mematikan lampu total, supaya kami berhenti membaca. Tapi kami kadang-kadang melawan. Bagaimana mungkin, saat George, Dick, Julian dan Anne serta Timmy sedang tegang-tegangnya mengejar penjahat misterius, kami harus berhenti membaca? Bagaimana mungkin, saat Elizabeth si Badung sedang merencanakan kenakalan, kami berhenti membaca. Tanggung! Akhirnya, suatu kali Mama bilang, bahwa alasan ia melarang kami terlalu banyak membaca buku-buku itu ialah, bukan saja supaya mata kami tak rusak, tetapi supaya kami tidak banyak mengkhayalkan hal-hal yang tidak mungkin Mama dan Papi bisa berikan kepada kami. Hal-hal yang sering kami baca dalam buku-buku itu, misalnya: liburan panjang di tempat lain, sekolah swasta mahal, dan lain sebagainya (saya lupa sisanya). Mama bilang, kami harus sadar bahwa orangtua kami hanya mampu segini, dan dengan membaca buku-buku itu, kami akan memiliki keinginan yang terlalu tinggi, dan mungkin akan kecewa jika tidak dapat terpenuhi di dunia nyata. Kami meyakinkan Mama bahwa kami dapat mengendalikan keinginan seperti itu, karena toh, Inggris sangat jauh!!

Mama tidak salah, tapi khayalan kami dari buku-buku ini lah, toh, yang akhirnya mendorong saya untuk pergi ke luar negeri. Menjelajah negara-negara yang hanya saya lihat di globe dulu, yang hanya saya baca di buku dulu, yang hanya saya khayalkan dulu. Mimpi, dimulai dari buku. Selebihnya adalah nasib dan kerja. 

Salah satu cover Lima Sekawan tahun 50-an, dari Pameran Buku Tua di Unimelb, Juli 2017
Waktu saya ke Inggris akhirnya, pada tahun 2006, semuanya serasa mimpi. Ajaib. Menginjakkan kaki di kota London. Melihat Big Ben dari bawah, melihat sungai Thames dari atas. Berjalan-jalan di peron dan staisun-stasiun dengan nama-nama Paddington, Waterloo, dan lain-lain, bagaikan keajaiban bagi saya. Bahkan, ulangtahun saya rayakan di Oxford saat itu. Dengan kastil dan menara-menaranya. Semuanya terasa tidak riil. Bagi saya, Enid Blyton lah, yang akhirnya membuat saya menggapai dan pertama dan yang terpenting: ingin, ke luar negeri. Jika tidak ada buku, bahkan untuk bermimpi pun, saya tak punya referensi.  

No comments: