Sesaat saya pikir saya berada di mesin waktu. Tadi siang sepulang dari salon untuk mengurusi rambut saya yang berantakan, hujan gerimis di luar. Dari lokasi salon itu, saya harus berjalan kaki sekitar 200 meter untuk sampai ke tempat di mana saya bisa mendapatkan angkot yang menuju ke rumah saya. Saat berjalan ke luar diiringi dengan ucapan selamat jalan dari mbak-mbak salon itu, saya baru sadar bahwa ini sudah hampir pukul setengah dua siang dan saya belum makan siang.
Saya terus mengayunkan kaki sambil berpikir, jika da warung yang nampak menjanjikan di pinggir jalan ini, saya akan berhenti untuk makan di situ. Saya sempat berhenti dan masuk ke dalam sebuah warung mi ayam dan bakso, di mana ada satu keluarga, bapak, ibu dan anak balita yang sedang makan di meja yang berbeda. Tempatnya agak kotor tapi masih bisa ditolerir. Tapi saat saya mencari-cari pemiliknya di mana, saya jadi ragu, karena melihat keluarga itu menaruh sepatu anaknya di atas meja makan. Selera makan saya mendadak hilang. Saya pun lanjut berjalan.
Sudah 50 meter dari tempat saya seharusnya menyetop angkot, namun belum ada warung juga yang seperti saya bayangkan. Akhirnya, sekitar 5 meter dari tepi jalan raya, ada sebuah warung kecil mi ayam dan bakso (juga), dengan sebuah gerobak mi ayam mengepul-ngepul di depannya. Saya pun berbelok masuk dan memesan semangkuk mi ayam dan segelas jeruk panas.
Duduk di bangku panjang di bawah atap menjulur dari warung kecil itu, saya mengamati pembeli lainnya: seorang ibu muda di dalam kios warung itu dan sepasang suami istri sekitar 30-an akhir di samping depan saya. Sang istri berjilbab gelap dan sang suami agak botak. Tukang mi ayam membawakan pesanan saya, dan sambil menunggu pembeli lainnya, ia duduk dan mendengarkan radio.
Karena Facebook dari HP sangat membosankan (saya membaca sedikit update dan kemudian merasa bosan), sayapun melihat-lihat sekeliling. Warung ini bersambungan dengan sebuah salon kecantikan juga, namun tampak tidak terlalu jelas papannya, hanya selembar spanduk yang hurufnya pun kecil-kecil, tergantung dari tirisan atap sampai hampir menutupi bagian atas daun pintu masuknya. Harganya standar: cuci blow xxx rupiah, masker dan creambath: xxxx rupiah, rebonding: mulai 200 ribu rupiah, dan seterusnya.
Setelah itu saya sadar bahwa lagu-lagu yang dari tadi terdengar, kedengaran seperti lagu lama. Suaranya seperti suara Tomi J. Pisa, penyanyi tahun 80'an yang terkenal dengan kecengengannya. Kami di rumah menjulukinya penyanyi kesayangan Menteri Transportasi karena semua lagunya selalu berkaitan dengan moda transportasi: entah itu berpisah di terminal bis, atau stasiun kereta, atau di bandar udara. Saat ini sekitar pukul 2 siang dan hari minggu sehingga lalu lintas pun agak lengang. Tak terdengar banyak bunyi-bunyian kendaraan dari jalan raya, sehingga suara radio penjual mi pun semakin jelas. Benarlah, itu Tommy J. Pisa! Lagunya: tentang berpisah di batas kota, mendayu-dayu dan menyedihkan itu. Diiringi dengan obrolan tidak jelas dari pasangan setengah baya, dan penjual mi ayam yang terkantuk-kantuk menunggu pembeli, serta si ibu muda yang membaca Pos Kota, saya tiba-tiba merasa seperti berada di dunia lain. Seperti mengalami teleportasi ke tahun 80-an. Sore-sore dimana hanya ada suara radio, karena televisi baru disiarkan hampir menjelang malam dan berada di tengah-tengah kehidupan orang-orang bersahaja, yang masih bisa mengobrol dan tertawa lepas, di warung pinggir jalan seperti ini, di mana aroma MSG cukup terasa gurihnya di penciuman (mungkin itu yang membuat saya selalu berpikir bahwa mi ayam paling enak adalah mi ayam gerobak pinggir jalan: no other restaurant's type of mi ayam can beat them!). Ditambah dengan mendung dan rintik hujan di luar, lirik lagu Tommy J. Pisa kedengaran makin memilukan. Teringatlah saya akan acara Kamera Ria, Aneka Ria Safari, dan Album Minggu Ini milik TVRI dimana penyanyi seperti Tommy ini pernah berjaya..Dan sayapun seperti sedang teleportasi......
No comments:
Post a Comment