Hujan
sudah berlangsung sekitar dua setengah jam. Dimulai sejak pukul setengah tiga sore ini. Sekarang pukul lima sore dan belum ada
tanda-tanda akan mereda. Jam lima maupun jam dua, warna langit tidak ada
bedanya. Hanya kelabu dan seperti
berkabut tipis.
Curahan
air dari langit makin deras. Pemandangan dari jendela kamar hanya nampak
seperti kabut putih bergaris-garis tak teratur. Butiran-butiran gendut air
hujan sebiji-biji jagung menempel di jendela kaca
kamar, membuat pemandangan di luar seperti dalam cerita Little Matches Girl.
Entah
kenapa, pikiranku selalu melanglang
kepada cerita tentang Gadis Korek Api nan malang itu saat aku merasa beruntung
memiliki atap dan tempat berteduh yang hangat dari kejamnya cuaca di luar. Baru teringat bahwa mungkin inilah yang menyebabkan
aku selalu sedikit merasa bersalah jika memiliki hidup yang ‘terlalu baik’.
Aku mematikan pendingin
ruangan. Sudah cukup dingin pikirku, dan mungkin bisa menghemat listrik, dan
mengurangi jejak karbonku. Apalagi, udara di luar tentunya sejuk dan tidak
perlu lagi pendingin ruangan, yang sudah kuhidupkan sejak hari masih terang
benderang dan panas seperti tadi siang.
Benar, udara sejuk berhembus masuk ke
kamar saat aku membuka jendela, perlahan, aku hanya mendorong bingkai kaca jendela beberapa sentimeter dari kusen. Wuuussss….angin sejuk menghembus ke leherku.
Aku akhirnya membuka jendela lebar-lebar,
dan menambatkan kedua kaitan jendela. Aliran
air hujan dari kanopi hijau ala kafe-kafe Eropa, dan hempasan hujan
dari atap beton kamar, terciprat ke wajahku.
Ingin kutarik napas
dalam-dalam dan menikmati udara langka ini. Bau asap kendaraan sehari-harian, luruh bersama air hujan. Kuhirup udara segar
dalam hujan ini.
Indah,
sarat emosi dan memori, tiap kali hujan.
Dalam gemerisik derai hujan. Dalam hentakan butiran air. Dalam harum tanah terhunjam
dentang tetes air hujan.
Hujan badai masih menderu di
luar sana. Aku melangkah malas untuk membuat segelas teh hangat. Kumemarkan sebatang sereh, kuiris serimpang jahe dan kumasukkan
ke dalam gelas tehku yang masih
mengepul dan menyemburkan harum teh melati. Setelah mengendap beberapa lama, kusesap perlahan. Citarasa citrus dari kedua herbal ini menghibur indera
penciumanku, dan menghangatkan aliran darah.
Di
luar masih hujan deras. Namun tubuhku terasa hangat.
Waktu yang sempurna untuk
tidur. Aku
mencoba, tapi tidak dapat benar-benar memejamkan mata. Perasaan takut kehilangan semua keindahan ini, dalam rinai
hujan ini. Mengapa hujan selalu begini?
Sudah puluhan kamar, puluhan
kota, belasan negara, dimana aku merasa hujan adalah berkat, atau kutuk. Menjadi
dekorasi romansa, atau penghalang pergerakan. Memaksa manusia menunggu dan
berpikir (saat hujan terlalu deras dan menunggu taksi atau angkutan umum). Dan mungkin
marah (saat pulang dan mendapati bahwa rumah atau kamar kost kebanjiran).
Dan dalam hujan, memori tetap
terangkai, jalin menjalin menjadi cerita. Indah atau pahit. Manis, atau buruk. Bahagia
atau derita. Kilasan demi kilasan. Rangkaian demi rangkaian.
No comments:
Post a Comment