Sejak kecil saya suka menggambar. Saat menggambar, saya menghilang smentara dari realitas sekitar saya, dan terjun ke dalam realitas lain. Menggambar adalah cara paling ampuh membunuh kebosanan, dan juga menajamkan kembali konsentrasi dan fokus terhadap detil.
Mungkin itulah yang mendorong saya pernah bercita-cita menjadi:
1. Pelukis
2. Desainer grafis
3. Arsitek
Saat SMA dan berkonsultasi dengan guru BP/BK, saya selalu mengisi kedua yang terakhir dari daftar tersebut sebagai cita-cita saya.
Cita-cita nomor 1 tidak pernah saya ungkit-ungkit lagi sejak SMA, karena waktu-waktu tersebut barulah saya menyadari bahwa saya menyerah dalam menggambar cahaya, berikut efek-efeknya. Melwati perjuangan keras untuk menciptakan efek semburat langit sore yang hampir tiap sore saya lihat dari dekat rumah saya - yang mana saya dapat melihat matahari tenggelam di horizon laut.
Saat matahari hampir terbenam dan sedikit berawan, campuran antara cahaya matahari yang menembus awan-awan, menciptakan warna jingga, merah muda keunguan karena bercanpur dengan biru langit dan pantulan langit di laut yang mulai biru redup. Hampir tiap hari dalam masa kecil saya, saya melihat pemandangan seperti itu, dan selalu ingin dapat memindahkannya ke atas kertas. Dan selalu gagal :-(. Entah campurannya aneh dan terlalu solid (walaupun saya mencoba setipis mungkin membaurkannya pada saat bercampur warna), entah cahayanya sama sekali tidak kelihatan, dan seterusnya. Saya coba dengan pensil warna, gagal, dengan cat air juga gagal. Seiring dengan kegagalan beruntun ini, tenggelam jugalah cita-cita saya menjadi pelukis. Sayapun memutuskan bahwa melukis atau menggambar pemandangan hanya akan menjadi hobi memalukan belaka, dan bukan hal yang dapat saya andalkan.
Meskipun cita-cita menjadi pelukis yang benar gagal saya raih, tangan saya tetap menyukai kegiatan coret mencoret alias sketching. Di mana ada pensil atau bolpoin, dan kertas kosong, tak pernah selamat dari proses coret mencoret ini. Dua hal yang tidak pernah luput dari coretan saya ialah gambar pohon dan rumah, serta gambar wajah dan model perempuan.
Ini sudah berlangsung sejak saya masih SD, dan cukup menjadi-jadi sejak saya mulai SMP dan bertemua dengan teman-teman dengan hobi yang sama. Saya ingat seorang teman saya bernama Bunga, dengan ciri khas gambar wajah perempuan yang mirip-mirip dengan hasil gambar saya, namun dengan mata yang jauh lebih besar, hampir sebesar tokoh-tokoh kartun Jepang yang terkenal masa itu, seperti Lulu Putri Bunga atau Candy Candy.
Tarikan garis sketsa Bunga lebih tegas seingat saya, sedangkan tarikan garis saya tidak setegas itu. Besar mata dan juga garis-garis rambut yang saya gambar relatif lebih moderat baik dalam ukuran maupun tekanan alat gambar.
Para perempuan yang saya gambar ini tidak pernah saya namai, walaupun pernah ada masa saya ingin menamai dan menyusun cerita yang bisa flowing, dan dengan demikian menjadi berkembang.
Tapi saya merasa membuat fiksi bukan bidang saya. Walaupun sewaktu masih SD saya pernah meraih juara mengarang tingkat provinsi. Tapi mebuat alur cerita dengan banyak tokoh sepertinya baru akan menjadi project jika saya sudah punya waktu lebih ata pensiun (?).
Jika dikumpulkan dari masa SD sampai sekarang, mungkin sudah ada ratusan ribu atau jutaan wajah perempuan yang sudah saya hasilkan. kebanyakan diantaranya kemungkinan besar sudah berakhir di tempat sampah sekolah atau rumah. Sudah dibakar atau entah kemana.
Sampai hari ini, saya masih suka menggambar orang. Di post ini adalah beberapa dari wajah yang saya gambar minggu lalu, saat tekanan pekerjaan dan lain-lain makin menjadi-jadi. keinginan menggambar makin menjadi biasanya jika banyak tekanan. Dan minggu lalu, saat menggambar, saya mencoba warna-warna yang tidak lazim. Misalnya rambut biru muda atau pink, atau campuran kuning dan ungu , dna sebagainya. Karena mainstream terlalu membosankan.
Saya pernah membayangkan, bagaimana jika wajah-wajah yang saya gambar ini benar-benar ada dalam dunia nyata? (atau paling tidak, mendekati)?.
Agak mirip-mirip film sci-fi atau horor, mungkin, jika itu benar-benar terjadi. Saya tak pernah membayangkan mereka menjadi tiga dimensi. Cukuplah mereka keluar dari otak saya, melalui tangan saya, ke atas kertas, via pensil, bolpoin, maupun spidol.
Saat otak saya mulai longgar, sudah sampai situ sajalah fungsi mereka.
Next time, as always, series of different girls in different colors will pop up again in my brain and mind, from nowhere, to be channeled through my hands and drawing pencils, to the papers.
No comments:
Post a Comment