Monday, August 29, 2016

Memandang hujan Agustus dari jendela kamar….


 Hujan sudah berlangsung sekitar dua setengah jam. Dimulai sejak pukul setengah tiga sore ini. Sekarang pukul lima sore dan belum ada tanda-tanda akan mereda. Jam lima maupun jam dua, warna langit tidak ada bedanya. Hanya kelabu dan seperti berkabut tipis.

Curahan air dari langit makin deras. Pemandangan dari jendela kamar hanya nampak seperti kabut putih bergaris-garis tak teratur. Butiran-butiran gendut air hujan sebiji-biji jagung menempel di jendela kaca kamar, membuat pemandangan di luar seperti dalam cerita Little Matches Girl.

Entah kenapa, pikiranku selalu melanglang kepada cerita tentang Gadis Korek Api nan malang itu saat aku merasa beruntung memiliki atap dan tempat berteduh yang hangat dari kejamnya cuaca di luar. Baru teringat bahwa mungkin inilah yang menyebabkan aku selalu sedikit merasa bersalah jika memiliki hidup yang ‘terlalu baik’.

Aku mematikan pendingin ruangan. Sudah cukup dingin pikirku, dan mungkin bisa menghemat listrik, dan mengurangi jejak karbonku. Apalagi, udara di luar tentunya sejuk dan tidak perlu lagi pendingin ruangan, yang sudah kuhidupkan sejak hari masih terang benderang dan panas seperti tadi siang.

Benar, udara sejuk berhembus masuk ke kamar saat aku membuka jendela, perlahan, aku hanya mendorong bingkai kaca jendela beberapa sentimeter dari kusen. Wuuussss….angin sejuk menghembus ke leherku.

Aku akhirnya membuka jendela lebar-lebar, dan menambatkan kedua kaitan jendela. Aliran air hujan dari kanopi hijau ala kafe-kafe Eropa, dan hempasan hujan dari atap beton kamar, terciprat ke wajahku.

Ingin kutarik napas dalam-dalam dan menikmati udara langka ini. Bau asap kendaraan sehari-harian, luruh bersama air hujan. Kuhirup udara segar dalam hujan ini.

Indah, sarat emosi dan memori, tiap kali hujan. Dalam gemerisik derai hujan. Dalam hentakan butiran air. Dalam harum tanah terhunjam dentang tetes air hujan.

Hujan badai masih menderu di luar sana. Aku melangkah malas untuk membuat segelas teh hangat. Kumemarkan sebatang sereh, kuiris serimpang jahe dan kumasukkan ke dalam gelas tehku yang masih mengepul dan menyemburkan harum teh melati. Setelah mengendap beberapa lama, kusesap perlahan. Citarasa citrus dari kedua herbal ini menghibur indera penciumanku, dan menghangatkan aliran darah.

Di luar masih hujan deras. Namun tubuhku terasa hangat.

Waktu yang sempurna untuk tidur. Aku mencoba, tapi tidak dapat benar-benar memejamkan mata. Perasaan takut kehilangan semua keindahan ini, dalam rinai hujan ini. Mengapa hujan selalu begini?

Sudah puluhan kamar, puluhan kota, belasan negara, dimana aku merasa hujan adalah berkat, atau kutuk. Menjadi dekorasi romansa, atau penghalang pergerakan. Memaksa manusia menunggu dan berpikir (saat hujan terlalu deras dan menunggu taksi atau angkutan umum). Dan mungkin marah (saat pulang dan mendapati bahwa rumah atau kamar kost kebanjiran).

Dan dalam hujan, memori tetap terangkai, jalin menjalin menjadi cerita. Indah atau pahit. Manis, atau buruk. Bahagia atau derita. Kilasan demi kilasan. Rangkaian demi rangkaian.

No comments: