Tuesday, November 13, 2018

That Warm November Night

Today perhaps is one of the best days, weather-wise, of the year, in Melbourne. I so love it from the minute I woke up this morning. 

This evening, I dined out with a couple of friends in Pesona Indonesia, an Indonesian restaurant in Victoria  Street, near RMIT in the CBD. It's just few blocks away from Bourke Street, where the terror act by a lone wolf took place last Friday afternoon. It was a sad event that created a stir among the government and Somalian muslim immigrant community here in Australia, and Victoria in particular. But it is another story.

After dining out, I felt like I was too full, so I and Sop decided to walk back to campus, in the hope to ease away our bloatedness feeling in our rice-filled tummies. 

I kept on distracted by news from all over the world today, and I might partially blame it to social media. Started from my friend asking about Istanbul, I downloaded my pictures in Ankara, to upload it to Instagram, then to receiving news about the death of an ex-classmate in K-town, confirming it to my friend Mx in K-town via FB, to commenting about flash flood in my home in K, to answering Ir about that flashflood and how the government and contractor responded to it, to giving my condolence in FB group of my highschool, to entry a reference about Risk Society into my EndNote. Uhm, before that, I panicked in the morning, and contacting CS of PDF Fi***er to cancel my free trial and subscription - which they said OK, to giving it review. Then commenting again in IG, and never ending editing on the four paragraphs that have been there for 2 weeks, and going nowhere. To end the day, I played Trevor Noah's interview with Stephen Colbert about the similarity of Trump and African dictators, a satire that made me chuckle at 11.30 pm on the tram.

Walking home with my new J*L headset and Christmas Piano on YouTube, the world looks different. More peaceful. When everything seems to halt and slow motion. Only me who walks alone down the road. Houses are dark. One or two have their Christmas lights on. Peaceful. O Holy Night is sang on YouTube. I checked on my back, no one walks behind. The sad story about that young girl homicide in Princes Park sends chills to us women when walking alone in the dark.

....fall on your knees..oh hear the angels' voices...oh night..divine..ooh night when Christ was born....

I walk passed the first unit, two Indian men are at the first floor unit in front of the complex, they look like students or young employees in their 20s. One is watching TV from a couch, the other one seems like reading something on the desk. Next unit, an old bald man, a bit overweight, is sitting by himself, watching TV. The world seems frozen and quiet and peaceful.

I was the only one that moves. The observer. The relativity works. The spectator moves. The objects relatively stay intact, motionless. Natural law of physics at work. I think of all these relativity. Of my thesis that's going nowhere. Time to work, really.

Then I arrived home. Finished the song O Holy Night.... until....Ooo night....oo night...divine.... writing this,just to write..let my fingers exercise after doing barely anything today...hufft...

Monday, September 17, 2018

Bredel buku di rumah guru: "jangan berkhayal" (not)

Saat itu saya mungkin sudah di Kelas 2 atau 3. Ile dan Na kelas 4 dan 6, atau 3 dan 5. Berjarak 2 tahun masing-masing. Masa itu, buku bacaan anak-anak yang populer adalah buku-buku serial karangan Enid Blyton, sebangsa Lima Sekawan, Sapta Siaga, Komplotan, Petualangan, Si Badung, St.Claire, Malorry Towers dan beberapa buku lepasan lainnya. Serial-serial tersebut selalu bercerita tentang dua golongan anak-anak. Pertama, mereka yang suka berpetualang, memecahkan misteri dan menantang bahaya seperti Lima Sekawan dan lain-lain, dan kedua, mereka yang nakal, lain daripada yang lain (tomboy), suka melawan, tetapi umumnya, berjuang untuk hal yang benar, dibalik kenakalan dan kebadungan mereka.

Buku-buku ini, bisa saya bilang, adalah buku-buku yang membentuk masa kecil dan karakter kami (saya). Saat membaca buku-buku ini, pikiran dan imajinasi saya bisa terbang ke negeri-negeri lain, bertualang tanpa batas wilayah. Saya bisa keluar dari rumah, dari kompleks, dari kota ini. Saya bisa berada di pedalaman Inggris, punya kapal, berenang, naik perahu, naik gunung: tanpa bisa melakukan semuanya itu dalam hidup yang nyata. Karena hidup yang nyata, benar-benar biasa-biasa saja. Bukannya tidak menarik, tapi kenyataan hidup biasa bagi keluarga kelas menengah di kota kecil pada tahun 1980-an di Indonesia. 

Namun demikian, ada juga sedikit 'hint' kemiripan yang membuat ketertarikan terhadap buku-buku tersebut cukup kuat. Kami besar di lingkungan yang masih asli. Alam sabana yang kering dan masih liar, lengkap dengan batu-batu karang hidup dan gua-gua karang. Rumput ilalang yang tumbuh bagaikan monster tanpa ampun dimana-mana, akarnya saling mengikat dan kait mengait mengurung tanah tandus yang hanya punya sedikit nutrisi untuk dimakan. Tapi bunga-bunga liar berbau tajam, semak-semak bergetah dan berbau atsiri masih juga dapat bertahan hidup dalam kekeringan dan kungkungan alang-alang yang kejam itu. Semacam bunga terompet kurus putih dan ungu dengan petal bergaris kuning, lantana oranye dengan buah hitam bak buah anggur mini, semak buah tinta yang dalam impian bodoh kami, mungkin adalah blueberries kampung (yang belum ditemukan orang-orang), buah putri hijau mentah dan kuning matang, dan semacam timun  mas merambat kecil-kecil yang namanya..bonteng? Kumis kucing, buah bergetah susu yang beracun, dan miana liar berbau tajam. Ada beberapa bunga liar yang tak kami kenali, dan kami namai sendiri. 

Lingkungan seperti ini sanggup membawa imajinasi saya ke wilayah yang berbeda sama sekali di Inggris sana. Dan walaupun saya tahu ada tempat bernama Inggris beserta seluruh stasiun dan kota-kotanya, bahkan desa-desa dan sekolah-sekolahnya, saya belum ada bayangan sama sekali, apakah mereka real atau tidak. Sampai saya melihat globe. Bola dunia dari balon karet berwarna biru yang pernah Mama bawa ke rumah pada suatu hari, membuat saya terpana, terkagum-kagum, dan bermimpi-mimpi. Tentang berbagai negara di luar sana, tentang bagaimana orang-orang di luar sana. Tentang bagaimana kehidupan di luar sana.  Bahwa mereka punya malam dan siang yang berbeda dengan yang kami alami. Bahwa mereka punya sekolah-sekolah seperti St. Claire dan Malorry Towers. Bahwa ada pulau-pulau kecil yang misterius dan terdapat banyak burung kakatua dan burung-burung liar di hutan-hutannya. Saya bisa tertidur hanya dengan berimajinasi tentang itu.

Buku-buku tersebut termasuk mahal untuk keluarga kami pada masa itu. Papi dan Mama tahu bahwa kami suka sekali buku-buku itu, tapi dengan 5 anak sekolah, akan sulit jika semua hobi kami pun dibiayai. Dan karena di sekolah biasanya dilakukan sistem barter, kami tahu bahwa paling tidak punya 1 atau 2 buku, bisa dijadikan modal awal untuk bertukar buku lain. Dan kami bertiga, artinya, kombinasinya bisa jadi makin banyak (1x3xn). Akhirnya, pada suatu hari, Papi ke Jakarta. Papi membelikan kami satu buku Lima Sekawan: Di Bukit Billycock. Itulah, bisa dibilang, satu-satunya buku Lima Sekawan yang kami miliki untuk bahan barter. Lumayan. Dikemudian hari, kami kemudian mempunyai satu buku Komplotan, kalau tidak salah.

Tapi ada satu masa dimana Mama pernah melarang kami membaca buku. Biasanya kami membaca sambil tidur, dan Mama tidak suka karena akan merusak mata, jadi dia melarang kami. Hampir semua orang akan bilang begitu. Tetapi terbukti tidak, kami semua tidak ada yang memakai kacamata minus. Mata kami semuanya baik sampai sekarang, saat kami masuk usia 40-an barulah kami memakai kacamata baca alias plus. Mama akan mematikan lampu total, supaya kami berhenti membaca. Tapi kami kadang-kadang melawan. Bagaimana mungkin, saat George, Dick, Julian dan Anne serta Timmy sedang tegang-tegangnya mengejar penjahat misterius, kami harus berhenti membaca? Bagaimana mungkin, saat Elizabeth si Badung sedang merencanakan kenakalan, kami berhenti membaca. Tanggung! Akhirnya, suatu kali Mama bilang, bahwa alasan ia melarang kami terlalu banyak membaca buku-buku itu ialah, bukan saja supaya mata kami tak rusak, tetapi supaya kami tidak banyak mengkhayalkan hal-hal yang tidak mungkin Mama dan Papi bisa berikan kepada kami. Hal-hal yang sering kami baca dalam buku-buku itu, misalnya: liburan panjang di tempat lain, sekolah swasta mahal, dan lain sebagainya (saya lupa sisanya). Mama bilang, kami harus sadar bahwa orangtua kami hanya mampu segini, dan dengan membaca buku-buku itu, kami akan memiliki keinginan yang terlalu tinggi, dan mungkin akan kecewa jika tidak dapat terpenuhi di dunia nyata. Kami meyakinkan Mama bahwa kami dapat mengendalikan keinginan seperti itu, karena toh, Inggris sangat jauh!!

Mama tidak salah, tapi khayalan kami dari buku-buku ini lah, toh, yang akhirnya mendorong saya untuk pergi ke luar negeri. Menjelajah negara-negara yang hanya saya lihat di globe dulu, yang hanya saya baca di buku dulu, yang hanya saya khayalkan dulu. Mimpi, dimulai dari buku. Selebihnya adalah nasib dan kerja. 

Salah satu cover Lima Sekawan tahun 50-an, dari Pameran Buku Tua di Unimelb, Juli 2017
Waktu saya ke Inggris akhirnya, pada tahun 2006, semuanya serasa mimpi. Ajaib. Menginjakkan kaki di kota London. Melihat Big Ben dari bawah, melihat sungai Thames dari atas. Berjalan-jalan di peron dan staisun-stasiun dengan nama-nama Paddington, Waterloo, dan lain-lain, bagaikan keajaiban bagi saya. Bahkan, ulangtahun saya rayakan di Oxford saat itu. Dengan kastil dan menara-menaranya. Semuanya terasa tidak riil. Bagi saya, Enid Blyton lah, yang akhirnya membuat saya menggapai dan pertama dan yang terpenting: ingin, ke luar negeri. Jika tidak ada buku, bahkan untuk bermimpi pun, saya tak punya referensi.  

Saturday, September 15, 2018

Anjing-anjing kami yang legendaris: Brino dan Snowy

Semakin banyak saya membaca tentang anjing di internet, plus menonton video-video lucu tentang anjing di  Youtube, semakin saya berpikir bahwa yang namanya 'anjing kampung', istilah yang banyak kita gunakan di Kupang, kebanyakan adalah mix-breed antara anjing lokal Nusantara seperti ajak dan labrador. Mungkin ada juga campuran lain seperti golden-retriever, tapi pada umumnya ciri-ciri labrador lah yang selalu cenderung kami cari jika memilih anak anjing: moncong pendek, bulu agak tebal, telinga yang tidur (tidak berdiri). Anjing-anjing yang bertelinga berdiri dan moncongnya panjang, biasanya memang tidak dianggap 'cantik', dan lebih banyak ciri-ciri ini ada pada anjing kampung yang berkeliaran di jalan, sehingga tidak terlalu disukai.

Waktu saya masih baru saja sadar dari ketidaksadaran masa balita saya, saya samar-samar mengingat tentang anjing kami di rumah Kampung Baru, namanya Brino atau Bryno, saya kurang tahu bagaimana mengejanya, tetapi warnanya off-white, kalau tidak putih kecoklatan. Ini adalah anjing di rumah kami pada tahun 1980-an, atau mungkin dari akhir 1970-an, waktu saya belum terlalu sadar. Brino anjing bagus, dan gemuk, karena kami cukup tertib dalam memberikan makanan dan memandikannya. Papi dan mama, yang saya ingat, tidak pernah menelantarkan anjing, mereka penyuka anjing, dan tidak pernah kasar pada anjing. Apalagi anjing sendiri, yang dipilih sendiri untuk dipelihara di rumah. Brino legendaris, karena kalau tidak salah, pernah melewati masa-masa dimana ada maling yang memasuki rumah dan dia seperti tidak menggonggong, sehingga Papi dan lain-lain menduga, orang yang mencuri itu tentunya adalah orang yang pernah mendatangi rumah kami, dan dikenal Brino. Saya lupa tepatnya apakah akhirnya si maling tertangkap atau tidak, tapi ada bukti seperti jejak lumpur dari sepatu dan apa lagi, mungkin payung - salah satu kasus yang kemudian membuat saya tertarik menjadi detektif dan menyukai hal-hal misterius terkait penyelidikan dan sebagainya.

Pada suatu hari, Brino hilang. Sudah beberapa kali kami mendengar ada komentar-komentar tidak menyenangkan dari orang-orang yang datang ke rumah, yang bilang, 'Wah, anjing ini kalau dijadikan RW tentu enak, karena gemuk'. Masa itu, rumah kami adalah rumah yang selalu ramai. Papi punya meja pingpong di teras rumah yang menghadap jalan raya. Papi juga penginjil, majelis jemaat, pedagang, pengurus partai politik dan dosen yang mengajar banyak mahasiswa, belum terhitung keluarganya sendiri, sehingga tidak kurang-kurangnya tamu yang datang entah untuk mengobrol sampai malam atau yang hanya iseng lewat depan rumah dan berhenti singgah untuk bermain pingpong. Bat dan bola pingpong selalu tersedia, dan sepanjang ada lawan, mereka bisa bermain saja walaupun Papi tidak ada di rumah. Belum lagi kawan-kawan Bu yang sudah SD saat itu, anak kampung sekitar atau kawan sekolah.

Awalnya kami pikir celetukan tentang daging anjing itu hanya becandaan. Jaman itu, anak-anak sering ditakut-takuti dengan cerita tentang orang potong kepala: orang-orang jahat yang berkeliaran membawa karung dan menculik anak-anak kecil untuk dijadikan korban tumbal pembangunan jembatan atau bangunan. Pencuri dan pemakan anjingpun saya pikir mirip, dan banyak cerita bahwa para pencuri anjing (dan penjahat lainnya) ini sering datang dari arah 'belakang kali'. Ya, beberapa meter di belakang rumah kami memang ada kali kecil yang lebih sering kering nya daripada ada airnya, dan seperti ada hutan kecil di dekatnya. Tapi cerita-cerita itu membuat tempat itu nampak mengerikan. 

Namun, ternyata celetukan-celetukan itu benar. Pada suatu hari Brino hilang. Dan saat itulah pertama kali saya merasakan kehilangan yang cukup dalam terhadap binatang kesayangan. Terkutuklah siapapun yang memakannya, pikir kami semua dengan geram. Inilah pertama kalinya, mungkin, saya memiliki ide tentang adanya orang-orang yang tega melakukan kejahatan karena menginginkan milik orang lain, dan karena mungkin, mau makan enak tanpa bekerja. Saya, dan kami, tak habis pikir mengapa ada yang tega melakukan ini pada anjing kami, mereka tidak ikut memberi makan, memandikan, atau memberi minum. Mereka tidak ikut merawat, dan tidak terlibat secara emosional dengan anjing ini. Sedangkan anjing di rumah kami, saat mereka masih kecil, diberi susu dan selimut, dan saat besar, dimandikan dan dirawat. Saya pikir, para pencuri anjing dan orang yang memakan hasil curian adalah orang-orang biadab yang sangat jahat.

Sekitar satu dasawarsa kemudian, datanglah Snowy dalam kehidupan kami. Dari semua anjing yang kami pernah punya, Snowy adalah anjing di rumah kami yang paling legendaris. Mungkin tahun 1988 atau 1989. Kami ingat benar, saat itu Mama masih menjadi Kepala Sekolah di SD Inpres Perumnas 1, kalau tidak salah. Si penjaga sekolah saat itu, saya lupa siapa namanya, Nadus atau Kobus atau nama-nama semacam itu, kabarnya baru saja datang dari kampungnya, dan membawa seekor anak anjing putih dan bulat. Saat Mama berjalan melewati rumahnya, dan melihat anak anjing lucu itu, dan Mama suka. Anak anjing itupun suka mendekat ke Mama dan menggosok-gosokkan badan bulat kecilnya ke kaki Mama. Mama kemudian meminta Snowy pada si bapak penjaga sekolah. Sebenarnya dia tidak mau memberikannya kepada Mama, karena memang anak anjing itu lucu sekali. Moncongnya pendek, matanya sayu, telinganya lebar dan menggantung (tidak berdiri), dan bulunya tebal. Kalau dia meringkuk, nampak seperti benang wol, atau ulat bulu putih besar. Mama suka sekali. Bapak penjaga tentunya membawa dari kampung dan berharap akan memeliharanya. Tapi Mama mendesak, dan yang kami katakan dengan berkelakar saat itu ialah, bahwa Mama menggunakan kekuasaan untuk mendapatkan Snowy...hehehe. Kalau saya tidak salah ingat, hari itu bertepatan dengan ulang tahun Mama, tanggal 23 April, sehingga mudah mengingat kapan Snowy datang ke rumah kami. 

Kami anak-anak memang selalu diberikan tugas di rumah. Ada yang menyapu, mengepel, menyiram halaman, menyapu halaman, mencuci dan mengelap mobil, dan juga memandikan anjing dan memberinya makan. Anjing punya piringnya sendiri, biasanya piring kaleng, dan ditaruh di luar rumah. Tentu saja, tidak perlu ada tugas khusus membawa anjing jalan-jalan seperti di luar negeri, karena di Indonesia anjing boleh berkeliaran sebebasnya, dan biasanya selalu ada pada jam makan kami di rumah, serta pada malam hari untuk menjaga rumah. Selain terkenal cerdas, anjing adalah binatang dengan kepekaan teritorial yang tinggi, sehingga ke manapun ia bermain dan berkelana seharian, pasti akan pulang ke rumah tuannya pada malam harinya. Itulah sebabnya anjing adalah binatang setia dan paling dapat diandalkan untuk menjaga rumah sejak jaman dahulu. Berbeda dengan kucing yang menurut saya adalah binatang yang lebih culas dan bodoh, bahkan selalu tetap mencuri makanan di rumah tuannya walaupun sudah lama tinggal di rumah.

Awalnya memang Snowy sudah punya bakat menjadi legend. Ia dinamai Snowy, seperti nama anjing Tintin si jurnalis yang juga petualang, karena dia memang putih bulunya, dari ujung telinga ke ujung kaki dan ekor, seperti salju. Ekornya gendut sekali, mungkin keliling pangkal ekornya sebesar kaki seekor kucing waktu ia sudah dewasa. Telinganya juga lebar, dan kami menjulukinya si telinga layar. Dan menggantung, dan suka sekali kami main-mainkan, yang tentunya membuat dia kesal. Waktu masih kecil, Snowy pernah tidur-tiduran dengan badan dilingkarkan di tangga pintu masuk di rumah bagian belakang kami. Datanglah om Sam, atau siapa, mau masuk ke dalam rumah. Ia tidak sadar melangkahi Snowy yang sedang tiduran. Sampai di dalam barulah dia berseru, "Wah, itu tadi apa yang berbaring di depan pintu? Anak babi kah?". Cerita ini cukup terkenal diantara kami serumah akhirnya. Semua orang kompleks pun tahu bahwa anjing putih milik Pak Fanggidae sangat gendut seperti babi. Padahal, menurut kami, dia lebih seperti ulat bulu (waktu masih kecil), tapi tidak dapat disangkal, kalau dia melingkarkan badannya waktu tidur, hampir seperti babi Belanda (babi besar gemuk berbulu putih) penampakannya. Kami juga menjulukinya 'Polar Bear', karena kalau ia berdiri, dengan bulu putihnya yang tebal, ia hampir mirip beruang kutub: putih dan tebal.

Snowy sangat lucu dan menghibur. Banyak sekali hal lucu yang sepertinya hanya Snowy yang lakukan, yang belum pernah kami amati dan lihat pada anjing lain. Yah, walaupun mungkin ada anjing lain berlaku demikian, mungkin kami saja yang tidak tahu karena kami tidak kenal juga dengan anjing lain seperti kami mengenal Snowy. Yang pasti, walaupun ditakuti karena badannya yang bongsor, Snowy anjing yang sangat sopan dan memang sepertinya lebih cerdas dari rata-rata anjing lain yang kami pernah punya, apalagi jika dibandingkan anjing tetangga di belakang rumah kami yang menurut kami sangat 'biadab' dan bodoh, karena menggigit sembarangan dan rakus. Sangat kontras. Snowy selalu bisa mengambil makanan dari tangan kami, bahkan tanpa menyentuh tangan kami. Anjing tetangga kami, yang namanya pun anjing itu, warnanya coklat dan matanya liar. Mungkin tak pernah dikasih makan dengan benar, badannya kurus, dan modelnya galak. Melihatnya saja kami sudah kesal. Jangan-jangan anjing itu turunan serigala kampung atau rottweiler, atau tak terlacak, dan hanya turun genetik jeleknya saja. 

Salah satu hal yang paling suka menjadi bahan gunjingan kami di rumah ialah kalau anak-anak tetangga itu pulang ke rumah, lalu mulai memanggil anjingnya dengan berseru setengah melagukan kata "A...aa...aa...an...jii..i...i..ing....". Menurut kami, salah satu hal yang paling tolol yang bisa dilakukan orang, adalah menamai anjing dengan nama anjing, memangnya belum jelas bahwa anjing itu anjing? Kami akhirnya sulit memutuskan, mana yang lebih bodoh, si pemilik atau si anjing. Sejujurnya, kami menganggap dua-duanya bodoh, berdasarkan pengalaman. Anjing bernama anjing itu, pada suatu hari di puncak kehinaan dan kebodohan, dan mungkin kelaparannya, masuk ke rumah kami, menerjang siapapun yang ada di jalannya, dan nyelonong ke dapur kami mencari makanan.  Kalau tidak salah, ia sempat menggigit betis saya, atau betis Na. Itulah definisi tidak tahu malu yang sebenarnya: mencuri di rumah kami dan menggigit kami pula! Pokoknya, menurut kami anjing itu dan para tuannya adalah bencana dan monster yang sangat menyebalkan. 

Beda seratus delapan puluh derajat dengan Snowy. Dia tidak pernah menyerang maupun menggigit (atau mungkin pernah, tapi tanpa sepengetahuan kami). Dia hanya menggonggong memperingati orang yang tak dikenal jika lewat dari depan rumah, atau dari samping rumah, walaupun sering juga dia mengejar motor yang lewat. Rata-rata motor yang lewat sudah kenal, bahwa ada anjing putih gendut depan rumah kami, dan suka mengejar motor. 

Ada hal yang luar biasa dari Snowy, yaitu memorinya. Pada saat Snowy masih kecil, ada sepupu kami yang tinggal bersama kami. Namanya Edi. Edi lah yang mempunyai tugas memandikan Snowy dan memberinya makan. Edi selalu bisa membujuk Snowy untuk mandi dengan caranya. Edi tinggal di rumah kami selama SMP, kalau tidak salah. Kemudian dia kembali ke rumah orangtuanya. Saat itu kami masih di rumah depan, berarti sekitar tahun 1988. Setelah Edi pergi, kamilah yang bertugas memberi makan dan memandikan Snowy. tetapi, seiring dengan makin besarnya badan Snowy, makin susah pula ia disuruh mandi. Akhirnya dia mulai berkutu, karena pergaulannya tentu saja dengan gerombolan anjing lainnya di kompleks. Kalau berkutu, kasihan juga membayangkan bahwa darahnya dihisap kutu-kutu itu. Akhirnya, kalau tidak bisa dimandikan, Papi dan Mama menyuruh membeli bedak Doris saja. Sampai sekarang masih ada dijual, bedak Doris yang diwadahi botol plastik bergambar anjing berbulu coklat seperti herder. Bulu Snowy hanya dimandikan dengan bedak Doris lalu disisir agar kutu-kutunya jatuh.  

Singkat cerita, saat kami sudah pindah ke rumah depan, beberapa tahun sejak Edi tidak lagi tinggal di rumah kami, pada suatu hari, Edi datang berkunjung. Snowy menjadi seperti kalap dan brutal. Dia menerjang, berguling, menggeserkan badannya ke Edi, menjilat dan melompat menandak-nandak kegirangan. Seperti bertemu teman lama yang sudah tak pernah bersua bertahun-tahun. Saat Edi masuk ke kamar dan menutup pintu, karena kewalahan dengan Snowy yang kalap, Snowy tak habis akal, dia berlari memutar dari luar rumah, lantas muncul dari jendela kamar dan melompat-lompat karena mencium bau Edi di dalam kamar itu. Snowy memutar otak nampaknya, kata kami, memang anjing pintar dia. Anjing memang binatang yang baik dan memorinya bagus. Tak lekang dimakan waktu. kesetiaannya juga, kepada orang yang dia tahu baik kepadanya.

Ada hal-hal lain yang suka kami kenang dari Snowy. Itu adalah keunikan, dan mungkin bisa disebut, keanehannya. Ada 2 hal yang dia benci dan dia gonggong seperti melihat setan saja layaknya. Yang satu adalah tangan kanan Om Lens, dan satunya lagi adalah mesin ketik. Ya, mesin ketik, bukan komputer. Ingat, ini adalah akhir 80-an dan awal 90-an, tentu saja mesin ketik adalah hal wajib yang dimiliki oleh guru dan dosen, dan juga anak sekolah SMP atau SMA. Pada suatu hari, Om Lens datang. Snowy menggeram, menggonggong, melipat badannya, melihat dengan marah, berlari mengitari om Lens. Secara spesifik, dia seperti mau menonjok atau menggigit tangan kanan om Lens, itu yang kami perhatikan. Dan itu selau terjadi. Setiap kali om Lens ke rumah, selalu terjadi kerusuhan karena kasus misteri Snowy dan kejengkelannya terhadap tangan kanan om Lens. Karena misteri ini tidak terpecahkan, kami menciptakan semacam teori atau hipotesis, bahwa om Lens adalah pemakan dan bahkan jagal anjing, itulah mengapa Snowy benci, karena kaumnya dibantai, dan bau pembunuhan ada di tangan kanan Om Lens. Om Lens, yang kami tahu, makan daging anjing. Dan kalau tidak salah, Papi atau siapa menduga bahwa itu pasti gara-gara tangan itu adalah tangan penyembelih anjing sehingga anjing dapat membaui. Tentu saja, teori ini tetap menjadi teori, karena tidak ada cara bagi Snowy untuk menjelaskan ke kami mengapa ia benci tangan kanan Om Lens. Ini sama halnya dengan kalau dia melihat mesin ketik. Dia akan melolong, menyergap, menggeram dan menggonggong kesal, seperti terganggu. Dengan mesin ketik, Papi dan Mama, bahkan kami, dalam imajinasi dan kesoktahuan kamipun, gagal membangun teori maupun hipotesis apapun, selain bahwa Snowy memang anjing yang nyentrik dan punya logika aneh sendiri yang tidak dapat kami pahami.

Satu hal unik yang sepertinya baru kami tahu dari Snowy ialah, bahwa dia kalau punggungnya digosok-gosok dengan sisi samping jari-jari kami, ke dua arah, saat dia berdiri, maka lama kelamaan badannya mulai melengkung turun, keempat kakinya akan mulai bergeser melebar ke arah samping, dan turun dan turun dan turun, dan pada akhirnya, badannya seperti telentang dengan perut menempel di lantai, dan keempat kakinya terbentang ke empat arah yang berbeda seperti merosot, merosot, merosot, dan akhirnya menempel ke lantai juga. Dia seperti dihipnotis dan langsung mengantuk dan tak berdaya. Ini adalah salah satu momen favorit yang tak pernah gagal membuat kami tertawa. Makhluk sebongsor dan segendut itu, bisa lemas tak berdaya kalau punggungnya digosok-gosok. Macam Samson di cerita Samson dan Delilah. Kelemahannya sudah jelas: Samson di rambut kepalanya, Snowy di punggungnya. Samson lemah kalau rambutnya dicukur, Snowy kalau punggungnya digosok.

Pencuri dan pemakan anjing di lingkungan kami tentunya tahu Snowy, dia terkenal karena besar badannya. Kami tahu ada beberapa kali percobaan pembunuhan dengan cara menjerat Snowy dengan kawat besi halus oleh para pencuri yang lewat dengan mengendarai motor. Beberapa kali kami melihat, kaki Snowy ada guratan bekas darah karena luka akibat kawat jerat anjing itu. Saya masih jengkel, kenapa mereka, pertama, makan anjing. Anjing binatang rumah dan seperti sahabat, jadi kalau makan anjing, seperti memakan teman rasanya. Papi pernah bercerita, bahwa orang Rote seharusnya tidak makan anjing, karena ada legenda tentang manusia Rote pertama yang berkelana dengan anjingnya yang penolong. Itulah sebabnya, keluarga kamipun  tidak memakan anjing, tidak seperti orang-orang dari suku dan pulau lainnya. Apalagi, anjing ini ada orang yang pelihara, bukan seperti ikan di laut yang dipelihara alam dan tinggal dijaring atau dipancing. Biadab dan bodoh. Kalau mau makan anjing, kenapa tidak pelihara saja sendiri mereka seperti peternakan babi? Untungnya, Snowy tidak pernah berhasil mereka culik dan bunuh. Anjing ini cukup cerdas dan besar untuk lolos setiap kali pencobaan. Membayangkan Snowy memberontak dari para pencuri jahat itu, yang berencana memukulnya sampai mati dalam karung dan memakannya, membuat perut saya mual.

Sayangnya, dari tahun ke tahun, Snowy makin tidak suka mandi. Dan juga makin sulit dibedaki. Bulu putihnya mulai rontok di sana sini. Tapi dia masih gagah dan masih besar badannya. Hanya saja, geraknya makin melambat. Kami berharap dia tetap tidak mudah ditangkap oleh para pencuri. Kalau tidak salah ingat, ada beberapa kenalan yang meminta Snowy untuk dibunuh dan dimakan, secara baik-baik, melalui Mama atau Papi. Dalam bahasa Inggrisnya: "to put him down". Tetapi tentu saja, kami menolak keras. Membayangkan Snwoy dibunuh cukup bikin mual. Namun tidak dapat dipungkiri, waktu terus berjalan, dan seperti halnya manusia, Snowy pun menua, tahun demi tahun. 

Pada suatu hari, kami sedang menonton TV di ruang tengah. Na baru pulang les. Saat itu sekitar jam setengah tujuh atau jam tujuh mungkin. Hari sudah gelap. Na bilang, dia berjalan lewat rumah depan, dan melewati Snowy yang tidur 'seperti anjing mati', dan dia sampai masih bilang, 'hey Snowy, kamu kok tiduran di jalan', sambil berjalan pulang, menyeberang jalan. Kemudian jam makan pun tiba. Saat kami mau makan (atau bahkan sampai selesai makan?), Snowy tak muncul-muncul. Ini tidak normal. Biasanya anjing itu selalu muncul kalau mendengar suara piring beradu. Dia selalu tahu saatnya kami makan, karena selalu berharap ada tulang yang bisa dia gerigiti, selain makanan jatahnya. Tapi Snowy tak muncul-muncul. Lalu Mama menyuruh kami (atau Na atau siapa, saya lupa tepatnya), untuk melihat Snowy, jangan-jangan dia sakit atau masih tidur di situ. Ternyata, Snowy sudah mati dalam tidurnya. Na membawa kabar buruk itu: Snowy mati. Kami semua tidak tahu harus bagaimana. Kamipun terus menonton TV agar tidak sedih sekali atau bahkan menangis. Kami tidak biasa menangis di depan satu sama lain. Tapi kami saling tahu, bahwa kami sebenarnya mau menangis karena kematian Snowy. 

Snowy sudah menjadi bagian dari keluarga kami selama bertahun-tahun. Mungkin sudah lima tahun atau lebih Snowy bersama kami. Banyak cerita dengan Snowy yang tidak terlupakan. Saya lupa siapa yang ditugaskan menguburkan Snowy, apakah Nani ataukah Okto atau anak laki-laki siapa yang tinggal dengan kami waktu itu. Tapi Snowy dikuburkan, kalau tidak salah, di dekat pohon kelapa kecil di halaman rumah muka malam itu juga. Malam itu kami tidak mau membahas kematiannya karena sedih. Kami hanya membahas bahwa sebagai anjing yang baik, matinya pun akhirnya dengan cara yang baik, dan terlepas dari berbagai upaya pencurian dan pembunuhan terhadapnya, dia berhasil bertahan hidup sampai hari tuanya, dan mati karena usia tua.

Sesudah Snowy, hampir tidak ada lagi anjing yang kami pelihara se-lama itu, yang secerdas, selucu, segendut dan se-legendaris Snowy. Snowy, yang kami anggap ulangtahunnya sama dengan Mama, yang selama hidupnya sangat banyak memberi hiburan pada kami, dan matinya pun tidak merepotkan kami, akan kami kenang sebagai anjing kami yang paling lama dan paling melegenda. 

=====



Monday, August 20, 2018

That look, on the window of a cafe

I have been sitting at this cafe at central part of the capital since 11 am in the morning. Panic attack making me stay this long. My paper is almost due, in a week to be exact, and I have really nothing in hand that looks structured. I start to feel the anxiety kicks in.

I have been staying home last weekend because of my cold and cough, and felt better this morning, when A asked me whether I wanted to work in public space or not. Working in public space is not necessarily my hobby as I tend to concentrate well in my secluded space, where no one walks around or talks around. And of course, for economical reason, no need to order food or beverage, that can cost me a few days' meal.

Now it's nearly 6.30 pm, 2 cappucinos, a chicken cordon bleu and a pot of hot lemongrass tea after, I stare at the window outside. It's started to look like a city night life scene outside. The lights are turned on. Neon lights. Crystal lights from a crystal lights shop at the second floor of the shopping mall right across the street. I looked outside. Something is moving. A woman's head right at the window, she's walking, and she also looking inside. She doesn't see me as I look at her slow motion. I can see her carrying a sack of things. She's a scavenger. Rubbish collector.

And I suddenly feel a rush of sadness. An irony struck me a chord. This cafe is full of people sitting and chatting. Spending hundred of thousand for coffee and small bites of snack and food. And this woman, perhaps all the money that I spend today, worth her daily income. I feel quite sick of this irony. I am that middle-class, she's the lower-class. We encounter the same spot at the GPS should spots it, as Google perhaps record this encounter as spots, if she has an internet connection, if she has a gadget with her.

I don't know. I have no idea how should I feel. Or do. I can't do much now. Probably I should just concern of the inequality. When I am at the higher spot of the ladder, more than when I am at the lower spot of the ladder, like she is now. Maybe.

I remember that look now. And I don't know what to do.

Sunday, July 29, 2018

My daily Bread - rizq

This morning devotion is about 'Hope in Grief', with Bible verses reading are taken from Luke 24: 13-32, On the road to Emmaus. 

This is a very familiar story for us Christians. Every Christians who grew up in a Christian family, read Bible and went to Sunday School, are pretty familiar with this story. The only name I can recall is Cleopas, one of the companions who converse with Jesus without realising that He is the Lord that they were talking about in that contemporary Jerusalem. I can imagine Jerusalem, the City of Light in those days. Perhaps few thousand urbanites and migrant Jews lived there, the pilgrims before Pesah festival. 

Everyone talks about this rebellious Jesus and His disciples. He is just a villager from Nazareth who turned out a prophet, and worse, blasphemous person for saying that He has the authority in par with the authority that Yahweh has. The Roman government in Judea has made its decision to follow the crowd's will: punish Him to death. And with the crucifixion, buried the hope they had for Him to free Israel as a nation, that's always defeated since King David. 

Long story short, Jesus talked with Cleopas, and even ate with them in the dining table for dinner [hence question about His new resurrected flesh - it is not a ghostly body, invisible and untouchable. It is touchable, visible, carrying remarks from His past life - the nailed pierced hands - and can eat if He wants to]. And their eyes are opened. That He is the Lord. 

Friday, June 15, 2018

When you feel unloved...

This morning, I started my day with silent anger and disappointment. I feel unloved by someone who I think should love me of all people. The silent treatment that I had been through, abruptly captured me and caused pain to my chest. But then I did my morning devotion, and read this on https://odb.org 


Our Daily Bread today (15 June 2018)

How many of us know in our hearts that we are loved by a Father whose affection for us is limitless? Sometimes we struggle with this truth. The Israelites did. They wondered if their trials meant God no longer loved them. But in Jeremiah 31:3, the prophet reminds them of what God said in the past: “I have loved you with an everlasting love.” 

We too long for such unconditional love. Yet the wounds, disappointments, and mistakes we experience can make us feel anything but lovable. But God opens His arms—the arms of a perfect Father—and invites us to experience and rest in His love.

Lord, hard things in our lives can tempt us to believe we are unlovable. But You say otherwise. Please help us to receive the life-transforming gift of Your everlasting love for us.

No one loves us like our Father.

Monday, May 28, 2018

Off for clarity

Let the problem be undermined.

It is not even a problem, by definition, because it is a problem, which might help to show me more clearly, what is it there for me, in a problematic relationship already.

Why, because it is just the right time to clear the doubts, uncertainties, anger, and so on from my mind, -if not from our minds.

So, I don't think I need to overthink about it. It will be my loss if I spend my valuable time by overthinking this issue. This is a non-issue.

Therefore, this time-off should be seen as 'off for clarity'. The function is to clarify so much unclarity things between us. If he is for me, he'll get back no matter what, but if he's not, he'll get away no matter what. There is no use in overthinking about him or future with him or anything.

I'd better live my life one day at a time, thinking about my research, and how to be a better person, a better version of me. How to be more useful for humanity, others and God...and again, reflect and re-view how to make my life better than before, not worse. Projecting how life can be more useful and not to satisfy what others think about.

Saturday, May 26, 2018

Emotional cave

I met my girl friends these days in many different occassions. On the trip to somewhere, at their apartment, at their house, at shopping malls, at restaurants, at various different cafes, all sort of places. All of them tell their stories about their relationships with men. I found out that many, -as mine, are often, hitting rocks, some, bottom rock, bumped, and severely got through their ups and downs. I feel like I see a chronicle, or drama, or in some cases, tragedy (at least two or three stories ended up in divorce).

With the closest ones, whom I know both the women and the men, or so, I found out that their stories are all bout adjustments, compromising, dialogues, collective thinking on issues, different thoughts and actions to respond to issues and events...or the absence of these. And I just think, oh is it worth all these efforts? Again, is relationship, worth to maintain and to keep? What about economics? Earning capacity? Level of thinking? The way they think and solve issues?

What if, all things have nothing in common but love? But then, what is love? Perfect love, doesn't see what and who and why someone sholud love someone else. Just love. Without the why and how and what and who. Just love. But hey, it's an agape, the type of love that God only is able to practice. That is, love a person, simply for he and she is. Not because of attributes attitudes or anything else. But hey, the world is so complex. We don't live in vacuum, we live in context. We pay bills, we eat, we think, we exercise our thoughts. How come we stop doing all that, we do not exchange our thoughts, we do not think the way we think, we change our attitude, we change the way we are, because of love?  I do not think that's how things should be.

I have a friend, who married to a guy, who is good looking and not bad financially. She has 3 beautiful children, a boy and a girl, they have been married for 15 years. Like, a perfect happy family. But from what she tells us, it's not a fulfiling marriage. It's just a marriage. Without adjective. A marriage, where they legally have shared economic responsibilties toward their children. The husband stays far away, she stays in different city. They meet only at weekends. She practically raised her children by herself. Most of the time, her husband is in different city. Their personalities are world away. She's talkative, socialite, active in here and there, smiley, chatty, smart. She has an army of male fans. He is quiet, super introvert, he doesn't like to mingle with other people too much. He stays away from her wife's social life because he cannot stand it. I just don't get it. What kind of marriage is that? To me, it is more of a status, social status. And it is because that involves kids. But for how long you have to surpress yourself to adjust with your spouse? To what level? Do you change because of love, or relationships, to the level where you feel, you are not yourself anymore? I don't think it is a good idea. Love is not fake. It is to be who you are and make you a better person. Am I growing? Am I becoming a better person when I am with him, or am I not? If I have to fake myself to become with someone, will I be happy?  

If you are not happy with who you are, how come you be happy with someone else? I think my case is just different. I think it is different way around. I was happy with my life. Then someone else came in. I think he will make me happier, a better person. But no, I happened to be a gloomier person, more anxious about future, about money, about being in poverty. He doesn't like people so much. He doesn't like discussion, conversations. He does not love God or have faith and hope in something greater. He does not like to laugh much. He does not like to talk. He is not warm. He is not so much of an optimist. Life is tough, gloomy and about doing things, not to think things over or reflect. He does not have curiousity, which resulted in so boring meet up over beer, or just enjoying nature without talking at all; which I think is a bit creepy. He does not have so much money, which is OK for me, but to some extent, have added into my own worry about money. He just want a relationship, where he has a person that is always by his side, so that he is not alone doing things, driving to countrysides by himself, doing activities together. But hey, what's left when we are not strong enough to do those things, when we are too old to go out and against the weather? Sit and quiet? Not talking? Depressing!  

Yet, everyone would prefer a stable, married people in top corporate position. Everyone loves adorable kids and happy parents, teaching the world about parenting and future generation. Compare to the singles, people would prefer a married person to be in top position. But what about people in wrecked marriage, who are there for the social status? Idolating marriage is, I think, equal to creating a new idol in life. The marriage itself.

Does the phrase love conquers all, mean anything? Something? Or maybe, we're just afraid to be alone sometimes, but not all the time, and in the end, decides that loneliness alone, is not a good reason to be in a relationship that brings so much broken hearts and tears into our life? Some women are then, brave enough to decide that it is enough. Tying the knot is good, when you're in love, and can together examine issues and problems in similar attitude. The basic problem is, when attitude towards life is different, it is easy to find next that all different issues emerge like mushrooms in the damp. Bubbling. Bursting. In one way over another, it happens one day, it will.

Dan ini adalah bacaan dari Our Daily Bread hari ini, Saturday, 26 May 2018.

Psalm 142[a]

maskil[b] of David. When he was in the cave. A prayer.

I cry aloud to the Lord;
    I lift up my voice to the Lord for mercy.
I pour out before him my complaint;
    before him I tell my trouble.
When my spirit grows faint within me,
    it is you who watch over my way.

INSIGHT

The heading to Psalm 142 says, “A maskil of David. When he was in the cave. A prayer.” But we might also call this song “David’s cry.” The poetic imagery woven into the lyric rings with authenticity because it flows out of David’s actual experiences. Twice he fled to a cave in fear for his life. Few of us can identify with that situation literally, but nearly all of us can relate to David’s metaphorical cave of loneliness and despair. When he uses words like “cry” (v. 1) and “complaint” (v. 2), we know how he feels. His “spirit grows faint” (v. 3), a “snare” has been set for him (v. 3), and “no one is concerned” (v. 4). David even sees his dilemma as “my prison” (v. 7). Yet he knows the trustworthiness of the One he cries out to, and he anticipates a day when “the righteous will gather about [him]” (v. 7). He will not always be desperately lonely.
Does an emotional cave imprison you today? Consider writing out your thoughts in raw honesty and giving them to God. How might that kind of honesty change your prayers? 
So here I am, writing down my thoughts, my worries, my anxiety, my thoughts. 
Di kala kucemas (Ruth Sahanaya)
Di kala kucemas akan masa depan
Dalam kehidupanku
Ku mau lihat burung-burung di udara
Yang tak mengumpulkan bekal
Tapi hidup dalam suka
Ku mau lihat bunga-bunga yang di padang
Yang hidup hari ini
Dan esok layu kembali
Kadang ku takut
Aku ragu, aku bimbang
Kulupa ada yang Kuasa
Yang dapat memberi sukacita
Ku mau jadi burung
Ku mau jadi bunga
Yang tak ada rasa takut
Dengan rasa percaya diri
Aku maju tanpa ragu
Kar'na Kau Penolongku

Monday, April 16, 2018

Mimpi-mimpi, orang-orang dan ayat-ayat

Tadi malam sebelum saya tidur, saya chat dengan teman baik saya, A, tentang vibes, tentang bagaimana sesuatu yang tadinya dipikir supernatural, ternyata ada penjelasan ilmiahnya, yaitu dari body chemicals, bagaimana kita menilai vibe dari suatu tempat atau seseorang. Terus, kami bercerita tentang bagaimana masih sedih dan terpukulnya seorang teman yang ditinggal pergi oleh suaminya yang adalah teman baik saya, dalam usia yang sangat muda, 40 tahun, karena sakit yang mendadak merenggut nyawanya. Kami juga bercerita tentang seorang perempuan lain yang juga bernama sama seperti saya, bahkan berusia 2 tahun lebih muda, yang juga nyawanya terenggut karena kecelakaan motor kemarin di Jakarta, yang rupanya adalah mutual friend dari banyak teman kami.

Lalu sayapun melanjutkan pekerjaan menerjemahkan transkrip ini samai sekitar setengah dua malam. Sesudah mematikan lampu, saya masih sedikit terbayang-bayang wajah teman saya yang baru meninggal itu, masih ingat suara dan wajahnya, karena saya baru membuka FB-nya, dalam rangka bercaap2 dengan A malam itu, melihat foto-fotonya dan postingan2nya dan komen-komen saya di postingannya dan komen-komennya di postingan saya. Saya terhenyak, bahwa komen terakhir baik saya di wall-nya maupun sebaliknya, hanya baru 6 weeks ago, 9 weeks ago, 11 weeks ago dan few weeks ago. It's tantalising. Bagaimana sebuah hidup yang begitu muda, yang begitu penuh dengan masa depan, direnggut begitu saja, membuat istri dan bayinya sebatangkara, hanya dalam hitungan hari saja.

Sampai saya ketiduran, pemikiran tentang betapa rentannya hidup dan batas hidup-mati ini masih terbayang-bayang. Dan tertidurlah saya. Pagi ini saya bangun dan mengingat-ingat kembali mimpi saya semalam. Saya teringat bahwa teman saya dan ibu saya almarhum ada dalam mimpi saya, bersama dengan beberapa orang lain yang saya sudah tahu sudah meninggal. Tentu saja, mereka nampak biasa, seperti orang-orang yang masih hidup, bercakap-cakap dan beraktifitas. Lalu saya ingat lagi, bahwa dalam salah satu kesempatan interaksi itu, saya ngomong dengan ibu saya, kalau tidak salah saya bilang, "Mak, ayo kembali ke sini (ke dunia orang hidup, ke dunia)". Mama saya menjawab dengan ringan dan kemungkinan, kalau saya tidak ingat, sambil senyum-senyum, "Tidak usah lah".  Lalu saya sedikit kesal (kalau tidak salah ingat)

Seperti biasa, mimpi saya selalu merupakan olahan dari apa yang saya pikirkan, saya baca, saya bicarakan dan saya alami, dalam suatu mix yang absurd dan sangat tidak jelas. Saya baru ingat bahwa siangnya saya sempat baca tentang bagaimana penjahat di sebelah salib Yesus diampuni pada akhir-akhir dari hidupnya, hanya karena berseru pada Yesus. Dan saya juga baca tentang si pengemis Lazarus yang mati dan duduk di pangkuan Abraham -ini akibat infografis tentang kisah Isra' Mi'raj yang dikirim teman saya lain yang ada cerita tentang Ibrahim dan Musa di lapisan surga kesekian, dan si orang kaya yang sombong, yang menderita di neraka yang panas, dan meminta seorang mati untuk dihidupkan kembali dan mengabarkan tentang azab akhirat kepada saudara-saudaranya di dunia agar bertobat. Permintaan ini ditolak Tuhan karena kata Tuhan, ada kitab-kitab Musa dan para nabi pada mereka, kalau mereka tidak percaya itu, sekalipun ada orang mati hidup lagi, ya mereka tetap tidak akan percaya juga, anyway.

Anehnya, pagi ini, saya bangun jam 7.20-an, lalu, kebiasaan yang sudah beberapa hari ini tidak saya lakukan lagi karena sibuk, adalah membuka Our Daily Bread dan membaca Alkitab. Tahu apa topik dan ayat bacaan dari ODB pagi ini? Saya kutipkan bacaan Alkitabnya di sini:

Psalm 39:4-6 New International Version (NIV)

“Show me, Lord, my life’s end
    and the number of my days;
    let me know how fleeting my life is.
You have made my days a mere handbreadth;
    the span of my years is as nothing before you.
Everyone is but a breath,
    even those who seem secure.[a]
“Surely everyone goes around like a mere phantom;
    in vain they rush about, heaping up wealth
    without knowing whose it will finally be.

Tentunya, saya cukup kaget karena kok pembacaannya begini, pas banget dengan semua obrolan, pemikiran, kejadian dan bahkan mimpi saya semalam. Judul bacaannya: "Just a second", dengan kalimat penutup seperti ini:

Recalling what he has already learned about the Source of joy and hope, he sees how reliant he is on the eternal God to help him see more than the momentary distraction of passing wealth (vv. 7–13).
Could this be a good time to see ourselves in David’s song?
And all I can say is: "Amen, let God be glorified through my fleeting life in this Earth, which is just a mere handbreadth", as David sang in this Psalm. Hallelujah, all praises I give only unto Thee!



Is r*********p overrated?

Is r*********p overrated?
Simply because I had no experience in this field, is it fair to think that this is not correct, this is not what it supposed to be when people are in r****?
I would say what I think. However is the acceptance from the other side.
He must understand that in this world, there are many people who think differently than him, and it's worth learning.
If the curiousity is there, the interest is there, everyone, sure, can learn.
If not, it's another story.
Begging is not my thing.
I'll say it, and I'll leave it there for the other side to pick up my words.
But no begging whatsoever anymore.
I guess, it's because I made myself aloof from G*d. It's just the result, the hollow in my heart, in my confidence, in my self esteem. And a little bit of loneliness because of a quiet social life.

Monday, March 26, 2018

Palm Sunday sermon 2018

The sermon today by Rev Steve Lie, at GKI Wahid Hasyim today, Palm Sunday 2018, 25 March 2018.

It's taken from Mark 15: "Pengadilan, keadilan atau kepentingan?" -- "Court, justice or interest?".

The reverend reminds the congregation that full justice cannot be found in this world, as it has never been. It was culminated in the trial of the Son of Man, Jesus Christ himself. So, don't expect it. But do honest anyway, although you know that you'll be losing in trial and court, because that is how the world is and has been. He also illustrated the Ahok case and 212 rally. He reminds that Barabas' name is also Jesus, and it's a good imitation of Jesus the Christ.

And suddenly I remember my late father. These are resonated his last words to me in 2007, so about 10 years and few months ago before he died. When I was in rage, and told him that I was about to go to court for my industrial relation case, he said "Don't think that if you are right, you'll win. No, it's not the case. Good and righteous people lose their case in courts and trials. So, prepare yourself. Because that is not how the world operates".

Also, suddenly I remember this theme occurs repeatedly in our conversations with friends and family. Also with the books that I read, from CS Lewis to Philip Yancey on this theme: justice. Is God a just God, or not? Is He fair in His decisions? Why good people lose and bad people win?

And see how Jesus responded to that unjust trial?:

1. He answered straightforwardly, no more and no less than the truth. 

“Are you the king of the Jews?” asked Pilate. 
“You have said so,” Jesus replied. 

And he said no more. Because it was unecessary. It's the truth, and it's undebatable. The reverend says that all people which qualifications are SH or MH know this too well. They know well that a court IS NOT the place to seek for justice.

2. He prayed for them when He's at the cross.

Jesus said, "Father, forgive them, for they do not know what they are doing."

He still forgive them anyway. No matter how much they mocked Him and accused Him.

So, it means be honest, and do good, anyway. No matter how, because we know, that we have a better hope, after this life, when we're in better land and be the citizen of the Kingdom of God. The suffering in this world, is necessary, but is temporary. Because when our eyes and our hope are anchored in His Kingdom where His rules fully applied, they're all just different.



It is well with their souls, rest in peace friends..

Two loss in seven months, born 1977

First loss is on August 9, 2017

Second loss is on March 22, 2018

They died seven months away from each other. They both were born in 1977, one in March and one in September. They both survived by their spouses and one only daughters. They both waited for years before having their first and only child. The first one was married for more than 5 years before having a daughter, the second one was married for about 4 years before having a daughter. The first's daughter named Audy, 5 years old, and the second's Anaia, meaning, Answer from God, 7 months old. And Audrey means, noble and strength.

They both were of my best friends

The first one was my childhood friend, -which means, we're befriended since we were in our early age, like 7 or 9 years old. Our houses are very close, only two houses away, less than 100 meters away. We had so much in common: from the same socio-economic class, and similarly intorverted, a quality which was rarely found in the so-happy-go-round-dancey type of Eastern Indonesia culture like that of my hometown.

The second one was my former co-worker, at the workplace that is our first job after graduated from university. I and my other colleagues interviewed him in 2002, the first time he was entering development job. We have so much in common: graduated from Engineering Faculty, active in Christian students' fellowship unit, and finding development job interesting and intriguing. He went to the same office, and same university.

She was one of the rare friend left in K-town when I return home.  He was one of my close cricle of friend that I usually catch up with when I return to J-town. I even have a WA group which members are only four of us: he and his wife, me and C, our mutual friend. I don't know what will happen with that WA group now. Kinda painful.

It's a shock to learn about her death. I cried a lot, I couldn't sleep well for a night or two remembering her, thinking about how empty it's going to be when I'm home and can't meet with her. She died of breast cancer, which was identified a year or so earlier, but she refused to get chemotherapy, and kept saying it's because she's afraid to die. She looked for alternative therapy instead. And she did not survive.

It's a shock to learn about his death, a sudden death, not a protracted one. He was diagnosed gailbladder stone, and developed into leakage in interstine and infection all over the body which could not be saved even after he was evacuated to S-state and being surgery to stop the infection. It was a shock. I went to the hospital right away after my flight from M-town, where he was unconcious for a week, and saw him before he was flown to S-state with ambulance. A week later, they flew him back to J-town, died.

It's quite stressful to learn that they both left "just like that", because they both were younger, and both have NCDs. 40 years and 5 months, and 40 years and 6 months. They both did not see 41. 

My head is aching when remembering them. Too much memories in my head, almost unmanageable, from 1980s to 2000s. I have to save and savour them and press them to a space in my brain, and maybe, by time, forget the memories. But for now, I just think, they will still mingling in my mind. They were gone too soon. They we too young.

I know they had their rest from this hustle bustle world. They lay in paradise to wait for the Last Day when we all see Jesus. Only with this hope that I can know well, that it is well with their souls.

And that we shall meet on that beautiful shore...









Wednesday, February 28, 2018

Twenty years on..

Suddenly, I feel so old.

Today, my eldest niece is being graduated from the university. She's about to be 21 years old now. Younger than her peers, because she started her primary school when she's 5 years old.
Her mother was graduated, I think, about 19 or 20 years ago. And I was there, with Mom. Where did I come from? I think from Malang, because Mom was there in Jakarta.

And.. here's another graduation. Twenty years on..

Procrastination

Look, why do I always avoid to write my draft? Tell me about it? What is your problem? Is it just because your brain can't think? Or your mind can't concentrate? If your mind can't concentrate, why? Is it just because you fail to put your concentration in one centre, or you try to avoid problems (which brings more problems indeed)?

1. Sudah buka Word document dan Endnote library
2. Sudah menuju paragraf terakhir
3. Sadar bahwa terakhir berhenti karena stuck dan merasa bodoh.

By not start even with a word, the habit just isn't there. The habit to write, to be productive. Instead, you are just buying your time, waiting for the next deadline and crisis to come, and you are hurry like beasts in the forest fire.