Daun-daun kuning musim gugur berserakan di atas jalan setapak depan cafe kecil di pojok jalan setapak dan Professor's Court, tempat saya biasanya membeli muffin blueberry atau apel cinammon kegemaran saya. Beberapa mahasiswa nampak kedinginan, berpakaian tertutup dari kaki sampai kepala. Banyak yang memakai coat panjang, namun masih ada pula yang nekat memakai hanya jaket tipis dan rok tanpa stocking. Terburu-buru mereka melangkah, karena hari makin gelap dan angin dingin bercampur gerimis nampak mulai turun membasahi tanah. Dari atas jendela perpustakaan ini saya menyaksikan pemandangan suram tersebut. Dingin. Angin. Hujan. Klasik untuk sebuah musim gugur di belahan bumi Utara dan Selatan. Mengingatkan saya akan London, beberapa tahun yang lalu. Hujan sepanjang hari. Dingin menggigit, gelap mendung, burung gagak terbang mengepakkan sayap hitamnya dan berteriak-teriak. Di mana suara manusia? Mereka sibuk. Semua orang di kota terburu-buru ingin mencapai tujuannya, di manapun itu, yang jelas, yang berpemanas ruangan. Sebentar lagi musim dingin tiba. Tak lama lagi, hari akan berakhir sangat dini, pada pukul lima.
Lampu-lampu mulai menyala di bawah sana. Burung-burung mulai berkepakan menuju pohon-pohon terdekat untuk tidur dan menunggu terang datang lagi. Manusia? Mulai bekerja lagi di bawah cahaya lampu terang benderang. Dari ruangan atas ini misalnya. Saya memandang lagi ke bawah. Tidak ada lagi yang bisa dilihat. Semua gelap. Hanya jendela-jendela di Old Arts yang nampak seperti kotak-kotak cahaya, tertutup rapat dan menyala. Pertanda kehidupan. Paling tidak.
No comments:
Post a Comment